Kolom

Apa Enaknya Memukul Lawan di Lapangan Sepak Bola?

Saya masih kelas dua SMA ketika terakhir berlarian mengejar lawan di sebuah pertandingan futsal antarsekolah dan memukulinya tiga sampai empat kali lalu berakhir dengan kartu merah. Ingatan itu melekat kuat karena selain itu memori masa remaja yang penuh warna dan lika-liku, itu juga pertama kalinya saya memukul orang sejak terakhir saya memukul kawan SD saya di kelas enam dulu.

Terkadang, bermain sepak bola bukan hanya perkara menggunakan logika dan akal sehat tidak hanya untuk melewati lawan atau menceploskan bola ke gawang, namun juga memakai keduanya sesuai situasi dan kondisi. Saya ingat betul waktu itu sikut pemain lawan telak mendarat di rahang sebelah kiri saya ketika akhirnya saya mengejar si pemain dan menghujaninya dengan beberapa pukulan balasan.

Ketika tumbuh dewasa dan mengemban tanggung jawab yang cukup besar porsinya di tim futsal kampus, perilaku emosional itu sedikit demi sedikit mulai bisa dikontrol dan dikendalikan. Bagi kawan-kawan yang awam dengan adu fisik di sepak bola (atau futsal), terkadang gesekan fisik memang mudah memicu emosi hingga berujung pada kekerasan. Tapi perlu ditekankan, tindakan itu tidak dibenarkan sama sekali. Memukul adalah hal yang tidak akan dilakukan pemain sepak bola apapun kondisinya.

Fisik yang lelah, kondisi tim yang tengah tertinggal, atau konfrontasi dengan lawan, tidak bisa menjadi pledoi untuk sebuah tindakan barbar yang tidak pernah punya tempat di olahraga sportif seperti sepak bola. Saya tahu betul rasanya kelelahan, stamina yang semakin merosot jelang akhir pertandingan, kondisi tim yang ketinggalan secara skor, lalu datang sebuah provokasi berupa tindakan fisik dari lawan yang mudah sekali membakar emosi.

Memukul tak pernah jadi opsi mengingat pesepak bola yang baik dan cerdas, meminjam dan memodifikasi sedikit kutipan klasik Andrea Pirlo, dimainkan dengan otak, karena kakimu (juga tanganmu) hanyalah alat belaka. Lingkar otak yang luas akan membuat pesepak bola sadar bahwa mereka bermain dengan kesadaran dan akal sehat yang waras serta memahami betul bahwa tindakan kekerasan fisik adalah opsi memalukan yang harus dibuang jauh dari pikiran mereka.

Saya rasa itu yang mungkin gagal dipahami oleh Ferdinand Sinaga dan Abduh Lestaluhu. Keduanya mendapat kartu merah karena melancarkan masing-masing jab kiri bagi Ferdinand dan jab kanan bagi Abduh ke lawan mereka di pertandingan Go-Jek Traveloka Liga 1. Hal ini belum termasuk tendangan dan pukulan Gerald Pangkali kepada Defri Riski di laga Liga 2 yang mempertemukan Kepri Jaya melawan PSPS Pekanbaru.

Melihat perilaku barbar ketiganya, kita wajib mempertanyakan  dua hal penting: Sepak bola Indonesia ini kapan menjadi dewasa dan profesional? Atau tagar #ligabarusemangatbaru hanya euforia semu belaka karena sejatinya selepas puasa bergulir selama setahun lebih, kompetisi sepak bola di Indonesia tak juga berkembang lebih baik dan waras?

Seperti laiknya kausalitas sebab-akibat, lemahnya regulasi yang mengatur tentang hukuman bagi pelaku kekerasan di lapangan sepak bola, membuat tingkah barbar ini masih saja terjadi. Ferdinand Sinaga misalnya, aksinya melakukan gerakan tinju profesional kepada penyerang asing Persela, Ivan Carlos, ‘hanya’ dihukum larangan bermain empat laga dan denda 10 juta rupiah.

Itu masih sangat ringan dibanding hukuman Joey Barton sewaktu membela Queens Park Rangers dan kedapatan memukul dan menendang Sergio Aguero serta Carlos Tevez. Barton kala itu dihukum 12 laga dan denda yang cukup tinggi, mencapai 75 ribu paun atau setara 1,2 miliar rupiah.

PSSI dan Komisi Disiplin wajib menerapkan hukuman dan denda yang tinggi untuk menekan sisi barbar pemain bola kita agar semaksimal mungkin tak melayangkan tindakan fisik berlebih terkait apapun situasi dan kondisi yang mereka alami di lapangan hijau.

Denda besar wajib diberlakukan karena pemain profesional kita perlu jelas memahami bahwa memukul dan menendang lawan bukanlah cara bermain sepak bola yang manusiawi dan waras. Dan untuk pencegahan yang lebih ekstrem, PSSI perlu meninjau lagi terkait kemungkinan menerapkan hukuman larangan seumur hidup berkecimpung di dunia sepak bola bagi mereka yang melakukan pemukulan terhadap pemain atau ofisial (wasit) di pertandingan.

Dengan adanya nuansa militer di tampuk kepemimpinan PSSI dan nilai-nilai disiplin yang selama ini melekat di gaya khas militer, Ketua Umum PSSI, Edi Rahmayadi, wajib meninjau ulang bagaimana seharusnya kasus pemukulan bisa diminimalisir dan hilang sepenuhnya dari sepak bola kita. Dengan federasi yang diketuai militer dan kasus pemukulan Abduh Lestaluhu yang notabene kapten PS TNI, publik menantikan betul bagaimana sikap yang terkait terhadap kasus ini.

Karena seperti yang sudah jelas kita ketahui, sepak bola bukan tinju, dan lapangan hijau tidak pernah menjadi ring tinju untuk beradu jab dan uppercut ke badan lawan. Dan suporter serta kita, para penikmat sepak bola, wajib kritis dengan hal-hal seperti ini dan tidak diam membisu memaklumi tingkah laku barbar pemain sepak bola nasional yang mencoreng nilai sportivitas dan kemanusiaan.