Kolom

Menyalurkan Energi Negatif Setelah Arsenal Kalah

Sebagai suporter Arsenal, tagar #WengerOut sudah terasa hambar. Sudah bukan lagi masanya merisak Arsene Wenger, sosok pelatih yang penuh misteri itu. Kini, sudah saatnya menyalurkan energi negatif, sedikit saja, untuk memberikan tepuk tangan atas kerja keras Mauricio Pochettino.

Kembali ke Desember 2016, Pochettino mengungkapkan satu konsep penting, terkait caranya membuat sebuah tim yang lemah secara mental, menjadi satu unit petarung. Manajer asal Argentina tersebut menyebutnya sebagai energia universal.

David Hytner menggambarkannya sebagai kekuatan untuk membimbing, sebuah kekuatan yang memengaruhi kehidupan sebuah entitas. Kolumnis Guardian tersebut menjelaskannya dengan analogi efek kupu-kupu. Maksudnya, sebuah usaha yang terlihat kecil, seperti kepakan sayap kupu-kupu, namun mampu memberi efek yang besar.

Pandangan ini membentuk pendekatan Pochettino terhadap kehidupannya. Baginya, ini adalah sebuah misi untuk membuat Tottenham Hotspur menjadi sebuah kekuatan yang mampu bersaing di bursa juara Liga Inggris.

Murid Marcelo Bielsa tersebut memang terdengar sedikit “agamis”. Namun, ia teguh dengan pendirian bahwa kekuatan di luar kehendak manusia benar adanya. Ia menegaskan bahwa Harry Kane adalah contohnya. Mengapa Kane begitu rajin mencetak gol saat North London Derby? Bagi Pochettino, kekuatan kehendak untuk selalu tampil apik ketika melawan Asenal itu yang membimbing Kane menjadi lebih tajam.

Bagaimana cara Pochettino menyalurkan energi positif? Semua dimulai pada bulan Mei 2014, ketika ia pertama kali menukangi Spurs.

Saat itu, Spurs terlihat lemah secara mental. Si Putih terjerembab di posisi ke-12 klasemen sementara dan Pochettino datang di tengah suasana tak enak. Energi negatif begitu terasa dan ia mengemban amanat yang berat.

Semua berhubungan dengan energi. Ia tak memaksa, namun Pochettino ingin anak asuhnya sadar dengan sendirinya bahwa mereka harus mau memeras keringat di lapangan. Tanpa kesadaran ini, angan-angan sepak bola dengan kadar oktan tinggi tak akan terwujud. Kesadaran yang baru bisa dibangun apabila energi negatif berhasil diredam.

Pochettino memulainya dengan menginjeksikan kata-kata dengan rasa positif. Misalnya, “Fokuskan energimu menjadi sebuah aksi”, atau “Tunjukkan cintamu kepada klub ini.” Kalimat-kalimat motivasi tersebut ia selipkan di tengah pra-musim yang boleh Anda sebut kejam dan begitu berat. Ya, semuanya soal energi. Kekuatan fisik pun dibangun dengan dasar energi.

Namun, masalah besar menjadi penghalang bagi Pochettino. Teknik ini hanya bisa berhasil apabila diterapkan kepada pemain-pemain tertentu. Yaitu jenis pemain yang akan terus berlari sepanjang menit, hingga wasit menutup pertandingan dengan peluit panjang. Sayangnya, tahun 2014 itu, Pochettino tak diwarisi skuat yang memadai.

Contohnya, 2 November 2014, saat itu Spurs melawan Aston Villa. Ketika Spurs tertinggal, Pochettino memutuskan menarik keluar Emmanuel Adebayor dan memasukkan Kane. Penyerang asal Inggris tersebut mencetak gol kemenangan di menit akhir. Spurs menang 2-1 dan dari 18 pemain yang berada dalam daftar tim ketika melawan Aston Villa, hanya ada delapan yang bertahan hingga saat ini.

Pochettino ingin para pemainnya fleksibel terhadap perubahan taktik, kuat secara fisik, penuh gairah untuk bertanding, selalu terbuka untuk belajar hal-hal baru, dan punya karakter bagus. Saat ini, kita menyaksikan Victor Wanyama, Dele Alli, dan Harry Kane yang akan terus berlari, menekan lawan hingga napas terakhir.

Meski “meminta” pemainnya untuk sadar dengan sendirinya untuk berjuang demi klub, Pochettino tak mengikat mereka dengan aturan-aturan yang membosankan. Kebebasan, adalah corak yang ingin Pochettino tanamkan. Namun ingat, semua ada batasannya dan kesadaran si pemain adalah tujuannya.

Kebebasan yang dimaksud, contohnya, di beberapa klub, si pemain harus mematuhi peraturan seperti kontrak perihal keseharian. Namun tidak di Tottenham. Pochettino tidak pernah menerapkan sistem denda, bahkan kepada pemain yang telat datang ke latihan. Ia juga tidak akan memarahi, hingga menjatuhkan denda apabila si pemain mengenakan seragam yang berbeda ketika datang ke komplek latihan.

Namun, Pochettino tetap menegaskan sebuah prinsip, yang harus dihargai, bahwa semua memiliki batasan dan masing-masing punya tanggung jawab.

Kebebasan tersebut juga ia tunjukkan ketika menjelaskan detail taktik seperti misalnya bagaimana set piece harus dilakukan. Pochettino menjelaskan bahwa pendekatannya adalah cair dan menyeluruh. Lebih ekstrem lagi, Poch, panggilan akrab mantan pelatih Espanyol tersebut, adalah ketika menentukan komposisi tim hanya dua jam menjelang pertandingan.

Ia tidak akan tergesa-gesa menentukan siapa yang bermain. Ia harus “merasakannya”. Memang betul apabila Anda bilang ini soal intuisi. Namun, Poch mampu merasakannya. Di tengah jadwal yang padat, Poch tak akan tergesa-gesa memainkan pemain yang sudah terkuras fisik dan mentalnya.

Ia tak akan ragu memilih pemain cadangan untuk bermain apabila salah satu pemain utama dirasa tak siap. Ia menaruh kepercayaan yang tinggi kepada semua pemain. Bahkan, kiper cadangan seperti Michael Vorm, tetap mampu tampil bagus ketika harus menggantikan Hugo Lloris yang cedera.

Namun, apakah Vorm bisa bermain bagus begitu saja? Tentu tidak. Setiap saat, Poch menjaga hubungannya dengan pemain tetap dekat. Di usianya yang baru 45 tahun, ia dapat dengan akrab menjalin “hubungan sahabat” dengan para pemain. Namun, ia cukup dewasa untuk menjaga jarak. Ia memberikan “getaran” yang positif untuk semua pemain.

Maka tak heran apabila Spurs tetap stabil meski sempat bermain tanpa Lloris, Kane, Danny Rose, Jan Vertonghen, dan Toby Aldeweireld. Poch sangat percaya pemain cadangan akan memberikan yang terbaik ketika dibutuhkan.

Ia memahami para anak asuhnya hingga lapis terdalam dalam kerja psikologis setiap pemain. Ia menunjukkan bahwa proses selama dua tahun lebih ini membuahkan hasil ketika sebuah koneksi terbangun. Saling percaya antara pemain dan pelatih.

Melawan Arsenal, Ben Davies bermain menggantikan Danny Rose yang cedera. Dan Davies bermain apik untuk meredam Alex-Oxlade Chamberlain yang brilian di dua pertandingan terakhir Arsenal.

Kieran Tripper bermain stabil ketika menggantikan Kyle Walker, untuk berurusan dengan Alexis Sanchez. Tahukah Anda, baik Chamberlain dan Alexis sama-sama kehilangan penguasaan bola sebanyak 20 kali?

Kebebasan yang diterapkan oleh Poch, dilandasi dengan kepercayaan. Kepercayaan dari si pelatih, membuat para pemain sadar bahwa mereka punya posisi penting. Menjadi seorang yang dibutuhkan di tengah sebuah keluarga. Lagipula, siapa yang tak senang ketika ia merasa dibutuhkan oleh sesama, bukan?

Konsep sederhana yang saya tulis ini terlihat mudah sebenarnya. Namun, Poch membutuhkan dua tahun lebih untuk membangun pasukan tempur yang akan semakin berkembang di masa mendatang.

Untuk kerja keras itu, saya haturkan selamat. Tinggal butuh satu bahan lagi untuk menembus berikade terakhir bagi Spurs apabila mereka ingin juara, yaitu konsistensi.

Kalian para suporter Spurs, nikmati satu prestasi langka ini, yaitu mengakhiri musim di atas Arsenal untuk kali pertama selama 22 tahun. Karena next year, is Liverpool year. Biasanya sih optimisnya begitu, tapi biasanya juga tidak kejadian.

#COYG

Author: Yamadipati Seno
Koki @arsenalskitchen