Nasional Bola

Mengenang Wiel Coerver: Pelopor Sepak Bola Profesional di Indonesia

Pada 22 April 2017 lalu, tepat enam tahun pelatih sepak bola asal Belanda, Wiel Coerver, berpulang. Coerver menghembuskan napas terakhir di usia 87 tahun akibat pneumonia dan kepergiannya adalah kehilangan besar bagi sepak bola dunia.

Indonesia termasuk beruntung pernah merasakan kehebatan ramuan Coerver pada pertengahan 1970-an. Pelatih yang memulai karier kepelatihannya pada tahun 1959 dengan melatih tim amatir SVN ini, menjadi pelatih untuk tim nasional Indonesia pada tahun 1975, setahun setelah sukses mengantarkan Feyenoord Rotterdam meraih gelar Piala UEFA (sekarang Liga Europa) dengan mengalahkan klub Inggris, Tottenham Hotspur.

Indonesia sendiri kala itu baru bebas dari sanksi FIFA selama 16 tahun (1958-1974) setelah menolak bermain melawan Israel di kualifikasi Piala Dunia.

Laga pra-Olimpiade antara tim nasional Indonesia melawan Korea Utara di Stadion Gelora Bung Karno Senayan adalah laga yang dinantikan para pencinta sepak bola Indonesia. Sebanyak 120.000 penonton memenuhi stadion, menantikan “keajaiban” bahwa tim Merah Putih akan melangkah ke Olimpiade Montreal 1976. Sayang, Indonesia kalah dramatis pada adu penalti, 4-5.

Indonesia memang tidak lolos ke Olimpiade Montreal 1976. Kontrak Coerver pun berakhir berakhir setelah Indonesia kalah dari Korea Utara. Namun, di sini titik awal perbaikan ke arah sepak bola profesional dimulai di Indonesia.

Sebagai pelatih, nama Coerver memang tidak semewah Jose Mourinho, Pep Guardiola, atau Carlo Ancelotti. Di negaranya sendiri, namanya mungkin terlupakan dibanding dengan Rinus Michels atau Johan Cryuff. Namun, Michels, Cryuff dan nama-nama tenar negeri Kincir Angin seperti Frank Rijkaard dan Louis van Gaal adalah pelatih-pelatih terbaik Belanda yang pernah merasakan tangan dingin Coerver.

Pada 2008, Coerver sempat ke Indonesia dan bertemu teman-teman lamanya. Kecintaannya pada Indonesia masih ada sekalipun sudah lama ia meninggalkan negeri ini. Ia sangat terkesan dengan kecintaan masyarakat Indonesia pada sepak bola, dan masih menyimpan harapan bahwa suatu saat Indonesia akan menjadi negara yang disegani dalam sepak bola.

Coerver memilih mengembangkan sepak bola akar rumput dengan mengembangkan metodenya yang akhirnya mendunia. Metodenya terkenal dengan nama Coerver Coaching Method.

 

Berikut ini hal-hal yang kita bisa pelajari dari kepelatihan dan sosok Wiel Coerver:

  • Pendirian kuat

Coerver adalah orang yang sangat apa adanya dan tegas dalam berpendirian. Ini yang membuat dirinya dianggap sebagai pribadi yang sulit. Beberapa kali ia harus berbenturan dengan ketua PSSI saat itu, Bardosono, tentang pemilihan pemain. Coerver bukanlah tipe pelatih yang menerapkan prinsip khas Orde Baru, ABS (Asal Bapak Senang). Baginya, pemilihan pemain adalah otoritas pelatih, tidak bisa diintervensi pihak lain.

  • Urusan pemain adalah urusan pelatih

Saat Indonesia kalah menghadapi  Voetz Linz dengan skor 1-0 pada uji coba menjelang kualifikasi pra-Olimpiade pada Desember 1975, ketua dewan penasehat, Maladi, dan ketua Badan Tim Nasional, Pardede, tiba-tiba muncul di tepi lapangan meminta salah satu pemain, Waskito, diganti. Namun, Coerver dengan tenang mengatakan,”itu urusan saya”.

  • Pemain dan seluruh tim berhak sejahtera

Selain itu, Coerver memperkenalkan profesionalisme dalam sepak bola Indonesia masa itu, hal yang kala itu masih dianggap tabu bagi sebagian besar pengurus PSSI karena masih beranggapan bahwa uang akan merusak nasionalisme. Tengok saja kegigihannya saat Coerver memaksa Bardosono menyepakati besaran bonus yang harus diterima pemain. Menang mendapat 70 ribu rupiah, imbang 50 ribu rupiah dan apabila kalah pun, akan memperoleh 25 ribu rupiah. Khusus bonus untuk laga final, menang diganjar bonus 2,5 juta rupiah dan andai kalah, masih diberi bonus 1 juta rupiah. Hak-hak pemain harus diperjuangkan karena baginya kaki pemain adalah periuk nasi hingga tua nanti.

Coerver pula yang mempunyai ide dibentuknya Dewan Pemain yang berisikan pemain-pemain hebat masa itu seperti Risdianto, Junaedi Abdillah, Oyong Liza dan lain-lain.

Ada hal yang menarik setelah Indonesia gagal ke Montreal. Sebelum pulang ke negaranya, Coerver masih sempat mendatangi Bardosono untuk memperjuangkan bonus, tidak hanya untuk pemain, namun untuk asisten pelatih, dokter tim, pembantu umum hingga masseur.

Previous
Page 1 / 2