Kolom Nasional

Semen Padang FC: Tak Hanya Bermodal Manajemen yang Rapi

Di awal tahun 2017 ini, ada satu berita yang menggambarkan betapa baiknya manajemen Semen Padang FC. Kabar tersebut datang dari konfederasi sepak bola Asia atau AFC, yang mengeluarkan peringkat klub-klub seantero Asia.

Semen Padang berhasil menempati posisi ke-66, membuat mereka menduduki posisi ketiga di antara klub Indonesia lain. Posisi 1 dan 2 ditempati Persipura Jayapura dan Arema FC. Semen Padang bahkan mengungguli Persib Bandung dan Persija Jakarta.

Rapinya manajemen memang menjadi salah satu poros klub yang mendapat suntikan dana dari perusahaan semen tersebut. Jika Anda mengunjungi situsweb resminya, mereka telah memiliki budaya menerbitkan match programme seperti klub-klub Eropa. Koreksi saya jika salah, selain mereka, cuma Persib yang juga mempunyai budaya serupa (lewat kerjasama mereka dengan simamaung.com).

Berstatus sebagai klub yang diempu suatu perusahaan, staf pelatih Semen Padang dianugerahi status sebagai karyawan perusahaan. Maka jika kegiatan tim sedang senggang, mereka kembali mengurusi tugas-tugas kantor. Sebenarnya ini merupakan langkah yang kurang cermat, rentan menimbulkan kecemburuan. Tetapi paling tidak, klub dan perusahaan telah mencoba membuat nyaman batin staf pelatih, sehingga bisa berkontribusi lebih baik lagi.

Jika menilik dari ajang Piala Presiden 2017, kiprah mereka pun tidak bisa dibilang buruk. Mereka berhasil melaju hingga babak semifinal, sebelum dikandaskan Arema lewat aksi heroik Cristian Gonzales. Di leg pertama padahal mereka telah unggul 2-0. Sayang, keangkeran Kanjuruhan seperti menjadi beban sehingga pertahanan mereka kocar-kacir.

Kekalahan 5-2 dari Arema tersebut seakan membuyarkan torehan positif mereka sejak babak grup. Mereka menjadi pemuncak grup 5, dengan catatan bersihnya gawang M. Ridwan dari gol lawan alias cleansheet. Hal itu terus mereka pertahankan hingga leg pertama babak semifinal di mana mereka mampu mengungguli Arema 2-0.

Tapi tentu saja aksi mereka di ajang tersebut belum bisa dijadikan patokan. Kompetisi liga, mengutip Sir Alex Ferguson, ibaratnya seperti kontes lari maraton. Butuh konsistensi yang lebih banyak dibanding kompetisi berformat turnamen singkat seperti Piala Presiden.

Publik dan penggemar Semen Padang tentu masih ingat bayang-bayang reputasi kurang baik mereka di Torabika Soccer Championship (TSC) 2016. Kabau Sirah menjadi tim yang identik sebagai jagonya kandang, dan kerap loyo saat jauh dari kampuang-nya.

Komentar para Tribes dengan akun Twitter @GSuzli dan @andifoot juga menyadarinya.

Sesuatu yang berkebalikan dengan budaya orang Minang, khususnya bagi kaum lelakinya. Bagi mereka, merantau sudah menjadi kewajiban. Suku Minang, seperti juga suku Bugis, adalah suku perantau, dan seharusnya karakter itu bisa menjadi modal bagi Semen Padang saat mengunjungi kandang lawan.

Jika suporter klub-klub lain ketersebarannya terbatas, kita tahu tidak demikian bagi mereka. Seantero negeri dapat dengan mudah kita temukan rumah makan Padang. Raga boleh saja lahir di kota orang, tetapi identitas kesukuan ini bisa mewujudkan budaya suporter yang kuat bagi orang rantau.

Tetapi nyatanya dukungan suporter saja tak cukup. Menilik dari kiprah mereka di TSC 2016, di aspek pertahanan tim ini lumayan kokoh. Mereka menjadi tim ke-4 yang paling sedikit kebobolan, 34 kali (bersama Bhayangkara FC). Semen Padang menduduki peringkat 8 di akhir kompetisi. Di sektor lini depan mereka cukup kepayahan. Mereka cuma mampu menceploskan 46 biji gol, masih kalah dari Mitra Kukar yang berada dua posisi di bawah mereka

Previous
Page 1 / 3