Kolom Nasional

Antara Persija, The Jak, dan Metromini

Sebelum Anda, pendukung Persija membaca ini, saya harap menyimaknya dengan kepala dingin. Ini merupakan sesuatu yang ditulis dari penggila sepak bola seperti Anda, yang kebetulan juga lahir dan tinggal di Jakarta.

Saya orang Betawi dan tinggal di kawasan yang menjadi basis warga Betawi di sebelah timur Jakarta. Saat Lebaran tiba, dalam radius satu kilometer, saya bisa mengunjungi sanak saudara tanpa harus menggunakan kendaraan. Saya familiar dengan dodol Betawi, sayur pucung, pesor, palang pintu, ngibing, dan berbagai kebudayaan Betawi lain. Di saat saya menulis ini pun, saya menyambinya dengan mengoordinasi anak-anak marawis yang akan tampil di pengajian keluarga.

Dengan fakta tersebut, apakah penulis mengasosiasikan diri sebagai The Jak atau Jakmania? Sayangnya, sampai saat ini belum. Selain kering prestasi, Persija tidak pernah hadir dalam riwayat saya menikmati sepak bola. Saya lebih sering memandang Persija dan The Jak dengan alis terangkat.

Apakah saya terlalu skeptis pada sepak bola nasional, lalu dengan angkuh menganggap sepak bola tanah air tidak layak ditonton? Tidak juga.

Saya pernah dengan asyik mengikuti sepak terjang Aremania Jogja. Itu saya lakukan karena beberapa sahabat saya merupakan penggemar Arema, di saat saya menjalani pendidikan di kota gudeg tersebut. Saya takjub mendapati fakta bahwa anggota Aremania Jogja banyak yang berasal dari suku selain Jawa Timur, Madura misalnya.

Di suatu sore, saya diajak berkumpul dengan kelompok suporter yang selama ini sering bersekongkol dengan Aremania, yakni LA Mania (suporter Persela Lamongan), dan The Jak. Sebagai anak sosiologi, hal ini sungguh menarik minat saya.

Sore itu, mereka merencanakan beberapa hal. Salah satunya rencana membuat syal bersama (satu syal dengan tiga logo klub masing-masing), yang mencitrakan solidaritas mereka. Ada yang mengganjal di pikiran: kelakuan anak-anak The Jak, sungguh mengganggu. Mereka menggiring forum untuk membicarakan perbenturan dengan kelompok Viking atau Bonek yang ada di Jogja.

Sekali lagi, tolong ini disikapi dengan kepala dingin.

Pasalnya, saya tidak terlalu suka dengan hal-hal primordial. Di waktu menjalani masa-masa sebagai mahasiswa baru, saya diajak untuk berkumpul dengan sesama mahasiswa UGM yang berasal dari ibu kota. Obrolan yang mereka lakukan adalah bagaimana menyaingi eksistensi kelompok mahasiswa Jakarta yang berasal dari SMA-SMA elite di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan.

Saya mual mendengarmya. Setelahnya saya tidak pernah berkumpul lagi bersama mereka. Yogyakarta terlalu menarik untuk dinikmati, lalu kemudian melebur bersama warga asli maupun perantau lain. Kira-kira, sikap ini sama dengan yang dimiliki beberapa suporter Persija yang saya temui waktu sering nimbrung dengan arek-arek Aremania. Terkesan elite, tapi untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak berat.

Jujur saja: sudahkah Persija dan The Jak menjadi tuan rumah di kotanya sendiri?

Baik Persija, The Jak, maupun metromini, sama-sama identik dengan warna oranye atau jingga. Sebagai alternatif transportasi publik, metromini pernah berjaya. Kedigdayaannya bahkan membuat bis tingkat tersungkur. Selain itu, metromini juga kerap digunakan anak-anak The Jak kala mendukung Macan Kemayoran.

Sayangnya, anak-anak yang menyewa metromini melakukan hal yang tidak patut: menganggap menaiki atap bus sebagai sesuatu yang keren. Padahal tindakan itu berisiko mengundang maut.

Maafkan jika saya menganggap mereka bukan oknum. Kalau setiap perilaku negatif dimaklumi lantas pelakunya hanya disebut oknum, sampai kapan kebiasaan buruk ini bisa berubah?

Kegelisahan ini tak hanya saya yang rasai. Seorang penulis dengan nama ucups_jakmania_17 juga mengeluhkan hal yang sama lewat tulisannya di blog Jakmania Tanah Baru. Pesannya jelas: Rojali atau ‘Rombongan Jak Liar’ dianggapnya seperti kutu di rambut. Parasit yang harus dibebat.

Ingat, sekali lagi suara saya ini berasal dari putra asli Betawi yang tak kunjung berminat mendukung Persija. Anda mungkin mafhum jika saya berasal dari suku lain. Seyogianya, identitas yang saya punya membuat saya menjadi pendukung fanatik The Jak. Tetapi kenyataan berbicara sebaliknya.

Saya ingin elite-elite di kelompok suporter memperhatikan hal yang sama. Oke, kita boleh menganggap perilaku Rojali sebagai buah peer pressure anak-anak usia remaja. Banyak dari mereka yang tidak mengetahui susunan skuat Persija, tapi datang ke stadion demi memenuhi konvensi sosial yang diterapkan teman-teman terdekatnya.

Tetapi mau sampai kapan? Di kabupaten Sleman, Brigata Curva Sud (BCS) berhasil melakukan propaganda positif sehingga dalam waktu singkat menjelma menjadi kolektif suporter yang sering mendapat pujian. Cek situsweb mereka. Anak-anak BCS bisa mengupayakan sosialisasi program atau jargon positif dalam mendukung klub pujaan hati.

Saya pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, di suatu warung di bilangan Kotabaru, seorang anak SMP memarahi temannya karena membeli merchandise palsu PSS. Sang anak memperingati kawannya setengah marah, berkata bahwa tindakan itu akan merugikan klub.

Bulu kuduk saya merinding menyaksikan hal itu. BCS, menurut asumsi saya, telah sukses menyebarkan virus positif mereka ke kalangan remaja. Anda mungkin berkilah bahwa PSS diberkahi stadion megah, sementara Persija belum memiliki kandang. Apakah Anda lupa? PSS hanya berlaga di kompetisi yang kastanya di bawah Persija. Hal itu tidak bisa dijadikan alasan.

Sepengamatan saya, mereka yang dinilai sebagai Rojali menganggap simbol identitas Jakmania sebagai wujud  gagah-gagahan belaka terhadap kolektif suporter rival seperti Bonek dan Viking. Rivalitas antarsuporter saya pikir sah belaka, tetapi apakah selalu itu yang dijadikan pijakan dalam mendukung suatu klub. Dalam semusim, berapa kali sih, Persija menghadapi Persebaya dan Persib?

Jakmania juga memiliki basis suporter di kampus-kampus dengan payung Jakampus. Dengan anugerah pendidikan tinggi yang mereka dapatkan, seharusnya bisa lebih padu lagi dalam membangun karakter Jakmania.

Untuk mereka yang kuliah jurusan desain grafis, bisa dimanfaatkan dalam membuat visual (poster, infografis, bahkan meme) yang berhubungan dengan program suporter. Mereka yang menimba ilmu manajemen atau akuntansi, bisa dilibatkan untuk mengoptimalkan sistem manajemen sehingga rapi dan akuntabel. Dengan demikian, ilmu yang mereka dapat mampu mereka tuangkan ke hal yang positif plus menyenangkan.

Itu baru di satu segi, yakni bagaimana Jakmania memanfaatkan anggotanya yang berpendidikan tinggi. Banyak juga aspek-aspek lain yang bisa disorot, lalu menjadi modal yang nantinya bisa diakumulasi. Jika Jakmania bisa menjadi acuan bagi para anggotanya, kolektif ini bisa menjadi pressure group (grup penekan) terhadap kebijakan manajemen yang selama ini patut dipertanyakan.

Utang yang menumpuk, ketidakjelasan stadion, tidak transparannya nilai investasi dan program Gede Widiade sebagai direktur baru, menjadi tambahan persoalan yang bisa suporter soroti. Tapi ketiga hal ini baru bisa ‘dilawan’ jika Jakmania mampu menggeser paradigma masyarakat Jakarta terhadap mereka, lalu membekali anggotanya dengan kultur mendukung klub yang bertanggungjawab dan kreatif.

Dalam perlintasan zaman yang semakin berjejal dan bergegas ini, metromini telah gagal beradaptasi, lalu izinnya dicabut. Padahal kendaraan ini pernah begitu ikonik dan amat khas Jakarta. Menjadi kolektif yang berdaya memang sulit, tetapi BCS telah membuktikannya kepada kita semua.

Tabik!

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com