Nasional Bola

Pembinaan Usia Muda: Pekerjaan Rumah Tiada Akhir bagi Indonesia

Aturan PSSI untuk para klub peserta Liga 1 agar membatasi jumlah pemain di atas usia 35 tahun bisa jadi ada sisi positifnya. Anggota Komite Eksekutif (Exco) PSSI Verry Mulyadi menyerukan pada para pemain yang berusia di atas 35 tahun untuk segera mengambil lisensi kepelatihan jika masih berminat berkontribusi di sepak bola.

Kepada Goal Indonesia, dia mengatakan bahwa kesempatan terbuka selebar-lebarnya bagi para pemain yang berada di usia menjelang pensiun agar segera mengambil lisensi untuk pelatih karena PSSI masih kekurangan pelatih untuk pembinaan usia muda.

Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi sendiri juga ingin mengundang para mantan pemain nasional untuk membahas soal ini dan mendorong mereka agar mau membantu pembinaan usia muda.

Kabar baiknya adalah sepanjang tahun ini AFC sudah menjadwalkan banyak kursus mendapatkan lisensi pelatih level A, B, dan C (termasuk kursus futsal, kiper, dan sepak bola pantai). Namun, AFC baru mencantumkan tanggal, belum mencantumkan tempat di mana pelatihan-pelatihan tersebut diselenggarakan. Baru kursus futsal dan sepak bola pantai yang sudah ditentukan tempatnya, yaitu di Bandar Lampung, Tangerang, Pekanbaru, Palembang, Yogyakarta, Denpasar, Banjarmasin, Balikpapan, dan Jakarta.

Kursus kepelatihan ini juga menjadi percepatan bagi para pelatih sepak bola Indonesia. Seperti kita ketahui, tahun 2015 lalu, segala aktivitas sepak bola Indonesia dihentikan karena sanksi FIFA yang berawal dari intervensi pemerintah terhadap PSSI.

Baru-baru ini, British Council Indonesia menyelenggarakan pelatihan bertajuk ”Premiere Skills Indonesia” di Bandung dari tanggal 13 Maret hingga 19 Maret. Sekitar 53 orang pelatih sepak bola akar rumput dari Aceh hingga Papua ikut serta dalam pelatihan dan lima pelatih Liga Primer Inggris memberi pelatihan dalam acara ini.

Indonesia tidak pernah kekurangan bakat-bakat sepak bola. Jumlah penduduk Indonesia mencapai 200 juta lebih, bandingkan saja dengan jumlah penduduk Uruguay yang lebih sedikit dibanding populasi Jakarta. Di kejuaraan-kejuaraan usia remaja seperti DANONE CUP dan Gothia Cup, Indonesia cukup berprestasi. Namun, kemana bakat-bakat ini? Bukankah pemain sekelas Andrea Pirlo dan Xabi Alonso juga jebolan Gothia Cup?

Seorang pejabat senior FIFA, Tom Gorisson pernah mengatakan bahwa pembinaan usia dini masih menjadi kendala di Indonesia, yang dipengaruhi juga oleh faktor kurangnya pelatih dan infrastruktur yang memadai. Dia mengungkapkan hal tersebut saat utusan FIFA bertemu dengan PSSI 19 Februari lalu.

Indonesia bisa mengambil pelajaran dari kegagalan timnas U-19 di AFF U-19 di Vietnam, September 2016. Tiga kekalahan beruntun di fase grup tentunya menimbulkan beberapa pertanyaan. Memang, minimnya persiapan juga berpengaruh karena pelatih Eduard Tjong hanya punya waktu kurang lebih dua bulan untuk mempersiapkan skuad ini. Namun, pembinaan usia muda juga berperan di sini. Otomatis pengalaman tanding yang kurang dan persiapan serba mepet membuat anak-anak ini demam panggung saat tampil di AFF U-19.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Upaya Kemenpora dengan program 1.000 lapangan di desa patut diapresiasi sebagai langkah awal yang baik untuk mendorong pembinaan usia dini di desa. Diharapkan PSSI dan Kemenpora bisa ”mesra” lagi demi kemajuan sepak bola nasional.

Sudah waktunya kompetisi di segala usia diadakan kembali. Kurikulum sepak bola antara klub dan sekolah sepak bola perlu disatukan sehingga pemain lebih siap saat bermain untuk timnas karena kemampuan dasarnya sudah ada. Di timnas tinggal berlatih untuk hal-hal yang lebih detail dan khusus.

Dengan ikut sertanya timnas usia muda di beberapa kompetisi level Asia tahun ini dan tahun depan (AFF U-16 akan diadakan di Thailand tahun ini, timnas U-22 akan berlaga di SEA Games Kuala Lumpur tahun ini, dan AFC U-19 diadakan di Indonesia), diharapkan bisa menjadi kebangkitan pembinaan usia muda.

Author: Yasmeen Rasidi