Kolom Piala Dunia 2018

Qatar 2022 dan Permasalahan Hak Asasi Tenaga Kerja Migran

Qatar resmi menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 sejak tahun 2010. Ada dua belas tahun waktu yang harus mereka tempuh demi menyelenggarakan hajatan akbar sepak bola sejagat. Qatar adalah negara yang sangat kaya. Jurnalis Eric Weiner mengatakan bahwa kekayaan yang mereka miliki seumpama para pemenang lotre yang bingung bagaimana menggunakan rezeki nomplok.

Qatar menjanjikan dana sebesar 100 miliar dolar akan mereka gelontorkan demi memenuhi target dari FIFA, yang utamanya dialokasikan untuk membangun stadion, bandar udara, hotel, serta jalan raya. Negeri mereka memang gemar bersolek, dan cengkeraman mereka terhadap sepak bola telah kita saksikan di Paris Saint-Germain, Manchester City, Barcelona, juga Malaga.

Sebagai negara yang menjadi terlalu makmur karena petrodollar, negara-negara Arab seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab mengalihkan perhatian ke negara-negara lain demi memutar uang yang mereka miliki. Qatar, yang aturan agamanya tak seketat Arab Saudi, bersolek sedemikian rupa sehingga dalam satu dasawarsa terakhir memukau dunia lewat kemegahan infrastruktur pariwisata yang mereka miliki.

Selain itu, mereka juga menggemari sepak bola, dan Piala Dunia diyakini sanggup menggenjot jumlah turis untuk berkunjung ke negara yang dikuasai keluarga al-Thani ini.

Beberapa waktu yang lalu saya telah menulis bagaimana Brasil di 2014 telah meninggalkan luka bagi warganya. Stadion-stadion dibangun dan direnovasi, sementara setelah pesta selesai, negara tidak berdaya dalam mengurus stadion-stadion tersebut. Di Brasil, hal tersebut terjadi karena stadion dibangun di area yang tidak memiliki klub besar, sementara biaya sewa stadion terlalu mahal (baik untuk agenda sepak bola atau hiburan seperti konser musik).

Padahal kita tahu, Brasil adalah negara yang memiliki tradisi sepak bola kuat, bangsa yang menganggap sepak bola sebagai joie de vivre: kebahagiaan hidup. Namun itu tidak cukup jika pembangunan dibangun dengan mengabaikan realitas sosial yang ada.

Sebagaimana negara-negara Arab kebanyakan, sistem sosial di Qatar membuat penduduk asli merasa mampu membeli apa saja, sehingga di sektor industri dan jasa mengandalkan buruh migran. Orang Arab berbaur dengan Bangladesh, India, Nepal, Cina, hingga Indonesia.

Berdasar data yang dihimpun Amnesti Internasional, jumlah tenaga kerja migran di Qatar berjumlah 1,7 juta jiwa, yang melingkupi 90% lebih tenaga kerja di Qatar. Untuk membangun stadion Khalifa, membutuhkan 3.200 tenaga kerja dan sekitar 250 di antaranya mengalami penyiksaan dan eksploitasi dalam proses pembangunannya.

Amnesti Internasional mencatat ada delapan kejahatan besar Qatar kepada para buruh migran yang bekerja membangun infrastruktur Piala Dunia dengan rincian sebagai berikut:

  1. Biaya tinggi dalam pendaftaran

Kebanyakan buruh yang ada berasal dari negara-negara miskin: India, Bangladesh, dan Nepal. Menjadi tenaga kerja di Qatar mereka anggap dapat melepas beban hidup yang merintangi mereka di negara masing-masing. Kenyataannya, mereka adalah tenaga kerja dengan skill rendah, sehingga dimanfaatkan oleh ilusi sistem sub-kontrak (atau outsourcing). Banyak pihak ketiga yang menjadi penyalur tenaga kerja memanfaatkan kenaifan para pelamar kerja dengan mematok tarif yang mahal: antara 500-4.300 dolar per kepala.

  1. Kondisi lingkungan kerja yang menyedihkan

Di tengah hutan beton yang berkilauan, para pekerja ini hidup di lingkungan yang begitu senjang. Mereka tinggal di area kumuh, bahkan harus saling berhimpitan di kapasitas kamar yang tidak sesuai dengan jumlah penghuni.

  1. Tidak transparan soal upah

Pihak perekrut menjanjikan upah yang tinggi. Tetapi pada kenyataannya, ketika para pekerja telah berada di Qatar, yang mengontrol mereka bukanlah pihak perekrut, melainkan kontraktor. Di satu kasus seorang pekerja dijanjikan upah sebesar 300 dolar per bulan, namun pada kenyataannya cuma 190 dolar. Ketika mereka menuntuk kepada pihak kontraktor, orang-orang tak berdaya ini diancam untuk dipulangkan ke negara asal.

  1. Penundaan upah

Ada pekerja yang tidak digaji hingga berbulan-bulan. Seorang pekerja yang bernama Prem mengaku bahwa karena penundaan ini, keluarganya di kampung halaman sampai harus menjual rumah dan anak-anaknya berhenti sekolah. Banyak dari pekerja migran rela berutang demi menebus biaya registrasi kepada pihak sub-kontrak. Tetapi karena gaji tak dibayar dengan pasti, utang yang mereka punya justru menumpuk dan semakin menyengsarakan hidup.

  1. Tidak bisa meninggalkan area pembangunan

Pemerintah Qatar mewajibkan kontraktor untuk menyediakan kartu identitas khusus untuk pekerja. Tetapi kartu yang seharusnya diberikan tidak diperpanjang. Hal ini membuat pekerja tidak berani meninggalkan area pembangunan, hidup mereka berkutat di sana.

  1. Tidak bisa meninggalkan Qatar, atau mengganti pekerjaan

Kontraktor menjadi pihak yang keji dengan menyita paspor para pekerja, dengan harapan mereka akan menjadi pekerja yang patuh. Ini adalah strategi ampuh, bayang-bayang ketakutan membuat para pekerja menerima ketidakadilan yang menimpanya.

  1. Mendapat ancaman

Saat pekerja berusaha untuk mencari perlindungan atau bantuan hukum, pihak kontraktor tidak ragu untuk mengintimidasi mereka.

  1. Kerja paksa (forced labour)

Beban kerja yang pekerja wajib tempuh tidak jelas. Ketika mereka protes, maka kontraktor mengancam akan mengurangi upah mereka. Intimidasi yang lain adalah bahwa mereka diancam akan diserahkan ke pihak berwajib, lalu dipulangkan ke negara asal tanpa dipenuhi hak-haknya (sisa gaji).

***

Demikianlah, ironi sepak bola yang membuat kita berpikir ulang tentang perlunya menyelenggarakan agenda ini dengan cara terlalu mewah. Brasil telah menjadi contoh. Piala Dunia Qatar akan dihelat lima tahun ke depan, dan sudah meminta korban.

Qatar mungkin tak peduli dengan korban-korban yang berjatuhan, karena bukan bagian dari mereka. Tetapi seharusnya mereka ingat, para pekerja migran sama-sama manusia yang mengharap secuil saja berkah Piala Dunia. Pihak-pihak lain seperti FIFA serta negara-negara asal pekerja, juga seharusnya bertindak lebih jauh untuk menghentikan eksploitasi yang telah terjadi.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com