Kolom Eropa

Kemunculan Silenzio Stampa di Italia

Tahun 1980 bisa jadi salah satu era paling berat dalam sejarah sepak bola Italia. Kala itu, calcio ditimpa kasus skandal judi yang populer dengan sebutan Totonero. Menyeruaknya skandal itu membuat banyak opini miring yang bermunculan di kalangan pencinta sepak bola di seluruh dunia. Terlebih, kasus itu menyeret banyak pelaku sepak bola di Italia , mulai dari pemain hingga presiden klub.

Setidaknya ada 22 orang dan 7 kesebelasan Serie A maupun Serie B yang dinyatakan terlibat Totonero dan mendapat hukuman dari federasi sepak bola Italia (FIGC). Para pemain dan presiden klub yang tersangkut masalah ini mendapat sanksi larangan berkecimpung di dunia sepak bola yang bervariasi, mulai dari tiga bulan sampai enam tahun.

Selaras dengan para pemain ataupun presiden klub, kesebelasan-kesebelasan yang terindikasi dalam kasus ini juga menerima sanksi yang beragam. AC Milan dan Lazio misalnya, dua tim yang kala itu bermain di Serie A ini dipaksa bermain di Serie B mulai musim 1980/1981. Sementara Palermo dan Taranto yang memang mentas di Serie B, mendapat pengurangan masing-masing lima poin kala menjalani musim 1980/1981.

Skandal Totonero sendiri terungkap berkat upaya yang dilakukan oleh Kementerian Ekonomi dan Keuangan Italia melalui sebuah firma hukumnya, Guardia di Finanza, yang dibentuk secara khusus untuk menangani kasus penyelundupan, pencucian uang dan skandal keuangan lain di negeri pizza. Dua penjaga toko di kota Roma, Alvaro Trinca dan Massimo Cruciani, juga menjadi aktor intelektual dibalik terbongkarnya hal memalukan ini.

Rahasia Totonero diungkapkan kepada publik di penghujung bulan Maret 1980 atau hanya berselang beberapa pekan menjelang dihelatnya Piala Eropa 1980 di Italia. Kenyataan tersebut membuat persiapan tim nasional Italia maupun penyelenggaraan turnamen antarnegara Eropa paling populer itu terdistraksi.

Timnas Italia yang saat itu dibesut Enzo Bearzot menyudahi turnamen Piala Eropa 1980 hanya dengan status sebagai semifinalis. Sementara trofi juara sukses digondol timnas Jerman Barat yang saat itu dimotori oleh Bernd Schuster usai membekap Belgia dengan skor 2-0 di partai puncak.

Diakui ataupun tidak, Totonero memang membuat sepak bola Italia menjadi lesu pada beberapa musim di awal era 1980-an. Bahkan jelang tampil di Piala Dunia 1982 yang dimainkan di Spanyol, timnas Italia yang biasa jadi unggulan di banyak turnamen, kali ini malah tak begitu difavoritkan.

Sebuah hal mengejutkan uniknya juga dibuat Bearzot jelang berlaga di Piala Dunia 1982. Secara tak terduga, dirinya menepikan sosok penyerang ganas milik AS Roma yang jadi top skor Serie A musim 1980/1981 dan 1981/1982, Roberto Pruzzo. Bearzot justru memanggil penyerang asal Juventus yang tersandung kasus Totonero tatkala memperkuat Perugia, Paolo Rossi.

Publik Italia jelas melayangkan banyak pertanyaan atas apa yang dilakukan sang allenatore. Apalagi saat itu Rossi baru terbebas dari sanksi yang menimpanya. Sanksi tiga tahun yang diterima Rossi dikurangi menjadi dua tahun sehingga dirinya bisa dipanggil Bearzot. Namun pelatih yang kerap dijumpai mengisap rokok di tepi lapangan itu seolah yakin jika Rossi adalah sosok yang lebih dibutuhkannya ketimbang Pruzzo untuk bertempur di Piala Dunia 1982.

Lebih dari itu, ada satu kisah menarik lain dalam perjalanan timnas Italia merengkuh supremasi tertinggi sepak bola dunia untuk kali ketiga. Datang sebagai tim yang kondisinya kurang baik akibat dampak Totonero, performa Italia memang jeblok di sepanjang babak pertama penyisihan grup.

Tergabung bersama Kamerun, Peru dan Polandia yang di atas kertas tidak selevel dengan  Gli Azzurri, Rossi dan kawan-kawan malah gagal memetik angka sempurna satu kali pun. Di tiga laga melawan lawan-lawannya itu, cuma hasil seri yang bisa didapat. Beruntung Italia masih bisa lolos ke babak kedua penyisihan grup setelah nangkring di peringkat dua grup di bawah Polandia.

Akibat penampilan yang tak meyakinkan tersebut, media lokal Italia menghujani kritik bertubi-tubi bagi anak asuh Bearzot. Rossi yang diharapkan Bearzot bisa menampilkan performa terbaik pun melempem selama babak pertama penyisihan grup. Banyak surat kabar yang menyebut jika dimasukkannya Rossi sebagai bagian dari tim adalah blunder.

Tekanan yang diterima Gli Azzurri dari media-media Italia tak berhenti sampai di situ. Il Giornale secara mencengangkan bahkan menyebut bila di dalam tubuh tim terdapat sebuah skandal percintaan sesama jenis yang melibatkan Rossi dan Antonio Cabrini.

Berita ini dipublikasikan usai seorang fotografer menangkap gambar kedua pemain tersebut tengah bertelanjang dada sembari minum-minum di balkon hotel tempat timnas Italia menginap. Keduanya lantas dituduh sebagai homoseksual dan tidur bersama layaknya pasangan suami-istri.

Kabar ini pun ditepis oleh salah satu penggawa Gli Azzurri saat itu, Bruno Conti. Dalam sebuah wawancara dirinya menyebut bila hal tersebut adalah sebuah berita yang tak masuk akal dan justru akan merusak konsentrasi pemain-pemain timnas Italia.

Anehnya, media-media Italia justru semakin menjadi-jadi dalam melakukan ‘serangan’ terhadap timnasnya. Beberapa waktu berselang, beberapa media juga membongkar bonus yang diterima pemain-pemain Italia walau permainan mereka begitu menyedihkan selama babak pertama penyisihan grup. Konon, bonus yang didapat timnas Italia pasca-lolos dari fase tersebut berjumlah 70 juta lira (mata uang Italia ketika itu). Sebuah nominal yang bisa dianggap berlebihan mengingat performa tim yang jauh dari kata impresif.

Menyadari derasnya tekanan yang dialamatkan kepada timnya, Bearzot kemudian memutuskan untuk memboikot media jelang bertempur di babak kedua penyisihan grup. Kebetulan saat itu Italia berada di satu grup yang sama dengan dua raksasa Amerika Latin, Argentina dan Brasil. Tak ada lagi konferensi pers, tak ada wawancara baik sebelum atau sesudah laga dan tak ada wartawan yang diizinkan menengok sesi latihan yang dijalani skuat Italia.

Sebuah langkah berani dan ekstrem yang kemudian sama-sama kita kenal dengan terminologi silenzio stampa. Bearzot merasa bahwa yang dibutuhkan skuatnya ketika itu adalah fokus pada sepak bola, bukan hal lain seperti yang disebutkan media-media itu.

Momen dimulainya silenzio stampa itu sendiri, seakan jadi titik balik penampilan Gli Azzurri di Piala Dunia 1982. Rasa percaya diri yang mereka punya perlahan muncul kembali dan hubungan seluruh anggota tim menjadi semakin solid. Performa Rossi dan kawan-kawan di atas lapangan pun menggila.

Secara brilian, Italia sanggup memecundangi duo Argentina dan Brasil di babak kedua penyisihan grup dengan cara yang brilian. Aksi-aksi Rossi sebagai ujung tombak pun membaik, dirinya bahkan mencetak hattrick pada laga melawan Brasil yang berkesudahan dengan skor 3-2. Poin empat (saat itu kemenangan bernilai dua) yang diperoleh Gli Azzurri berhasil mengantar mereka ke babak semifinal.

Tim yang mereka jumpai di babak pertama penyisihan grup, Polandia, siap menghadang langkah Rossi ke fase puncak. Namun semangat baru yang kadung merekah di tubuh Gli Azzurri membuat Grzegorz Lato dan kawan-kawan  tak berdaya. Dwigol Rossi tak mampu dibalas sama sekali.

Tiba di partai puncak tak membuat Bearzot lantas menghentikan silenzio stampa yang dilakukan skuatnya. Apalagi hal tersebut justru menampakkan hasil yang manis bagi timnya. Proses boikot itu pun tetap dilanjutkan.

Dan seperti yang sama-sama kita ketahui, Italia pada akhirnya berhasil membawa pulang titel Piala Dunianya yang ketiga saat itu setelah membekap Jerman Barat dengan skor 3-1. Sebuah pencapaian yang membuat mereka berdiri sejajar dengan Brasil sebagai tim dengan koleksi titel dunia terbanyak kala itu.

Usai keberhasilan tersebut, sang pelatih diundang oleh beberapa media untuk melakukan konferensi pers namun Bearzot menolak. Pelatih kelahiran Aiello del Friuli sekaligus pionir silenzio stampa itu tak bisa memaafkan apa yang telah dilakukan media-media Italia terhadap tim asuhannya selama Piala Dunia 1982 dan malah menanyakan integritas mereka dalam membuat berita.

Disadari atau tidak, gelar dunia yang didapat Italia saat itu terasa amat manis ketimbang gelar dunia yang lain. Sungguh, menjadi juara dengan kondisi serbasulit dan tekanan media yang ekstrem bisa membuat siapa saja kehilangan arah. Tapi Bearzot sukses menunjukkan kepada semua orang perihal kualitas yang dimilikinya dengan eksekusi yang luar biasa pula.

Dan apa yang diperkenalkan Bearzot saat itu dalam wujud silenzio stampa, rupanya juga awet hingga detik ini. Banyak pelatih yang berkecimpung di kancah sepak bola Italia, baik lokal maupun asing, yang memilih cara ini untuk membuat anak asuhnya fokus terhadap urusan sepak bola.

Entah sebagai upaya memperkuat kohesivitas tim yang memang sudah tangguh agar menjadi lebih tangguh ataupun membenahi mentalitas dan kesatuan tim yang tengah berada di periode buruk agar bisa segera bangkit.

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional