Eropa Inggris

Zlatan Ibrahimovic Bukan Eric Cantona yang Baru bagi Manchester United

Sejak awal mula kedatangannya ke tanah Inggris, Zlatan Ibrahimovic terus menjadi fenomena. Alih-alih pulang kampung ke Swedia atau bermain di luar Eropa, Zlatan justru mengarahkan tujuannya ke kompetisi yang disebut-sebut terbaik di dunia, Liga Primer Inggris. Zlatan tiba di sana setelah ia merasa petualangannya di Prancis sudah selesai. Dan Manchester United jadi pelabuhan selanjutnya untuk seorang Zlatan.

Zlatan mengawali debutnya di United dengan cara yang khas. Sebuah gol spektakuler ke gawang Galatasaray di partai perdananya untuk klub tersukses Inggris tersebut. Setelah gol kemenangan yang ia ciptakan di ajang Community Shield, Zlatan terus menjadi pusat perhatian.

Di usia yang makin menua, justru ia makin ganas menciptakan banyak gol dan menjadi mesin pendulang gol utama United mengalahkan penyerang-penyerang yang usianya jauh lebih muda seperti Anthony Martial atau Marcus Rashford.

Baru-baru ini ia mengantarkan United menjuarai EFL Cup (dulu Piala Liga Inggris). Satu gol pembuka melalui tendangan bebas berkelas. Dan gol kemenangan yang dicetak tiga menit sebelum pertandingan usai, yang disarangkan melalui tandukan kepala. Zlatan menjadi aktor utama keberhasilan tim untuk memberikan gelar kompetitif perdana Jose Mourinho di era kepemimpinannya di United.

Sejak masih muda dulu, Zlatan memang selalu menjadi fenomena. Ia selalu memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan eksistensinya kepada publik sepak bola secara global. Dan apa yang ia lakukan di United sejauh ini juga merupakan cara Zlatan untuk menunjukkan kepada dunia tentang identitas seorang Zlatan Ibrahimovic.

Dunia dan penggemar United tentu sangat terkesima dengan Zlatan. Meskipun sang penyerang Swedia belum mampu membawa United ke level yang sama seperti era Sir Alex Ferguson dahulu di Old Trafford, setidaknya kehadiran Zlatan membuat kesebelasan berjuluk The Red Devils tersebut memiliki fear factor yang sudah lama hilang. Keberadaan Zlatan membuat setiap tim kini kembali mewaspadai United.

Akhirnya kemudian mencapai suatu titik di mana Zlatan disamakan dengan legenda United lain asal Prancis, Eric Cantona. Banyak pihak menyamakan Zlatan dan Cantona karena adanya banyak kesamaan. Mulai dari mental pemenang, kematangan, dan kenikmatan yang sama ketika melihat Zlatan menyarangkan gol seperti ketika King Cantona menciptakan gol. Termasuk kesamaan sifat yang sama-sama bisa dibilang angkuh dan sangat menyukai panggung utama hanya untuk mereka sendiri.

Penggemar United tentu sangat menyenangi Zlatan. Ketinggian hati dan congkaknya mereka bisa sangat dimanifestasikan melalui sikap Zlatan di dalam dan di luar lapangan. Zlatan adalah sosok yang sangat dinantikan setelah waktu-waktu yang cukup sulit selama beberapa tahun ke belakang. Setelah hanya bisa membanggakan kualitas teknik luar biasa dari Juan Mata dan kemampuan gaib seorang Marouanne Fellaini, kini penggemar United punya sesuatu yang bisa dibanggakan dalam diri Zlatan.

Tetapi menyamakan Zlatan dengan Cantona bukanlah sebuah persamaan yang bisa dibilang tepat. Fenomena Cantona dan Zlatan sebenarnya bukan sesuatu yang baru di United. Dalam sejarahnya, setidaknya dalam kurun waktu dua dekade terakhir, United memang punya kebiasaan untuk membeli penyerang-penyerang yang sudah berusia lanjut.

Tujuan utama dari pembelian ini bukan hanya mencari kematangan dan kualitas saja, tetapi juga merupakan sebuah rencana jangka panjang. Kedatangan para penyerang senior ini diharapkan bisa membantu meningkatkan kemampuan para penyerang yang lebih muda.

Mulai dari kedatangan Cantona sendiri ke United. Ia didaratkan dari Leeds United pada usia yang sudah cukup matang. Kedatangan Cantona adalah untuk mempersiapkan generasi class of 92 yang bakatnya sudah bisa mulai dipetik. Jika Anda sudah berkesempatan menyaksikan film dokumenter soal generasi terbaik yang pernah dilahirkan oleh United ini, Anda bisa menemukan bahwa Cantona memiliki peran besar terhadap karier mereka. Baik di dalam maupun di luar lapangan.

Setelah Cantona pensiun, United kemudian mendaratkan penyerang senior lain, Edward Paul “Teddy” Sheringham dari Tottenham Hotspur. Sheringham datang ke United saat sudah berusia 30 tahun kala itu. Ia diharapkan bisa membantu penyerang muda asal Norwegia yang kala itu sangat kurus tapi larinya cepat, Ole Gunnar Solksjaer. Seperti yang sudah tercatat dalam sejarah, Teddy dan Ole kemudian menjadi pencetak gol penentu keberhasilan United menjuarai gelar Eropa kedua di final Liga Champions 1999.

Dengan fenomena ini, tentu membuat Anda sadar apa alasan United meminjam Henrik Larsson yang sedang berada di penghujung kariernya dan bermain di Helsingborg, klub asal Swedia. Kedatangan Larsson adalah dalam upaya untuk mematangkan dua calon bintang masa depan klub kala itu, Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo. Alan Smith sebenarnya diberikan peran yang serupa. Sayang ia kerapkali cedera dan bahkan di akhir kariernya di United, ia justru menggantikan Roy Keane di posisi gelandang bertahan.

Begitu pula dengan kedatangan Dimitar Berbatov pada tahun 2008. Salah satu penyerang favorit Sir Alex ini sendiri bahkan sudah mendapatkan julukan sebagai Cantona baru ketika ia berseragam United. Teknik mengolah bola dan cara mencetak gol yang tidak biasa membuat keduanya disamakan. Sayang Berba , sapaan akrab penyerang Bulgaria ini, adalah tipe orang yang tertutup dan pendiam. Ia tidak memiliki aura dan karisma yang serupa dengan Cantona.

Sebelum Zlatan, ada juga penyerang yang tidak lagi muda kemudian didaratkan United. Robin van Persie menjadi nama selanjutnya dalam daftar ini. Kedatanganya sempat menimbulkan polemik bukan karena ia didaratkan dari rival Arsenal, tetapi soal uang yang digelontorkan United di mana mereka membayar lebih dari 20 juta paun hanya untuk mendaratkan penyerang yang sering sekali cedera di klub asal ia bermain sebelumnya.

Tapi gelar Liga Primer Inggris ke-20 membuat harga Van Persie rasanya menjadi cukup masuk akal. Sama seperti kedatangan Berbatov, Van Persie diharapkan bisa membuat sinar dari Danny Welbeck bisa lebih benderang lagi. Sayang, di kemudian hari, secara ironis sang penyerang muda kemudian hijrah ke Arsenal.

Maka, kedatangan Zlatan bukanlah untuk mencari sosok Cantona baru. Jose sebagai juru taktik tentu ingin mempersiapkan dua penyerang muda, Martial dan Rashford, agar bisa menjadi tumpuan tim di kemudian hari. Karena nyatanya, kedatangan Zlatan justru membuat keduanya terpaksa bermain melebar, dan kehilangan tempat mereka sebagai penyerang tengah. Martial bahkan harus merelakan nomor punggung sembilan diambil oleh Zlatan.

Kedatangan Zlatan yang sudah kenyang pengalaman dan kualitasnya sudah terbukti adalah investasi terbaik yang United lakukan mungkin dalam dua dekade terakhir. Didaratkan dengan gratis membuat nilai Zlatan lebih tinggi lagi. Karena Jose juga seorang yang rasional. Lebih baik mendatangkan Zlatan yang sudah teruji kemampuannya bahkan dengan gratis, ketimbang menggelontorkan uang untuk mencari penyerang baru, seperti Romelu Lukaku, misalnya.

Jika Cantona datang untuk mematangkan penyerang-penyerang muda United, Zlatan justru sebaliknya. Ia datang untuk mematangkan reputasi dirinya sendiri. Ia datang untuk menancapkan hegemoninya seperti yang ia pernah lakukan di Belanda, Italia, Spanyol dan Prancis. Hegemoni yang seolah mengatakan bahwa orang ini, Zlatan Ibrahimovic, adalah seorang pemenang sejati.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia.