Kolom Eropa

Sepak Bola Slow Rock Liverpool bersama Jurgen Klopp

Begitu banyak pertanyaan yang bisa kita layangkan kepada Liverpool. Tim ini, beserta para pendukung fanatiknya, selalu dikatakan akan bisa menuju ke ‘sana’ (baca: menjuarai Liga Primer Inggris). Tetapi kenyataan selalu mengatakan sebaliknya. ‘This is our year’ selalu diulang kala musim baru menjelang.

Klub ini adalah tim yang hampir menjuarai Liga Primer Inggris di musim 2013/2014, merasa jemawa, lalu menerbitkan delapan buku yang menceritakan ‘prestasi’ runner-up tersebut. Meski buku-buku tersebut bukan inisiatif klub, setidaknya bisa menjelaskan mentalitas klub secara keseluruhan. Fakta ini tidak menjelaskan tentang tingginya minat baca pendukung Liverpool, yang jelas mentalitas ini sebenarnya berbahaya. Saya ulangi sekali lagi: delapan buku.

Pelatih legendaris mereka, Bill Shankly, pernah berkata, “If you are first you are first. If you are second you are nothing .” Sepak bola tidak mengenal juara kedua, dan sepertinya mereka melupakan komentar pelatih yang sebenarnya seringkali mereka kutip itu.

Kemarin (28/2) dini hari, lagi-lagi Liverpool mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menjadi bahan perbincangan. Tim mereka dikalahkan Leicester City. Babak pertama baru berjalan 40 menit gawang Liverpool sudah kebobolan dua kali. Padahal, selain baru ditinggal Claudio Ranieri, Leicester juga mengalami penurunan performa.

Kepada awak media pascapertandingan, Jurgen Klopp berkata, “Masalah bahasa menjadi sedikit menyulitkan ketika Anda kalah. Sulit rasanya untuk menemukan kata-kata yang tepat.

“Ini bukan dikarenakan Leicester bermain terlalu agresif, saya rasa kami kurang siap beradu fisik. Mereka (Leicester) mempersiapkannya dengan baik, mereka begitu siap.”

Klopp tidak bisa menyalahkan siapa-siapa karena kesalahan paling besar memang ada di pundaknya. Selain dari atmosfer klub, Liverpool juga diuntungkan oleh jeda istirahat panjang mereka. Leicester harus menjalani partai tandang Liga Champions melawan Sevilla. Skuat Liverpool juga ke Spanyol, tetapi untuk beristirahat dan berlatih santai di La Manga, Murcia.

Praktis, musim ini Liverpool hanya perlu berkonsentrasi di Liga Primer. Di ajang Piala FA, mereka tumbang  1-2 dari Wolverhampton Wanderers. Di ajang Piala Liga, mereka gagal melaju ke final setelah dikalahkan Southampton dengan agregat skor 2-0. Southampton, kita tahu, telah menjadi semacam feeder club bagi Liverpool karena pemain-pemainnya sering dibeli dengan harga selangit.

Ngomong-ngomong tentang Piala Liga, seteru abadi mereka, Manchester United, baru saja menjadi juaranya. Kemenangan United atas Southampton bukan hanya menjadi piala kedua yang berhasil disumbangkan Mourinho, tapi menegaskan keunggulan United atas Liverpool. Keseluruhan trofi kini lebih banyak dimiliki Red Devils.

Selain belum pernah menjuarai liga sejak beralih menjadi Premier League, puasa gelar liga Liverpool juga telah melampaui puasanya United. Setan Merah pernah merasakan puasa cukup lama, 26 tahun (dari 1967 dan akhirnya pecah pada 1993). Tahun ini adalah tahun ke-27 di mana Liverpool belum bisa menjadi jawara Inggris. Melihat tren yang mereka punya, sepertinya akan terus berlanjut.

***

Seharusnya kita paham bahwa memang Luis Suarez-lah aktor di balik kejayaan Liverpool musim 2013/14. Lihat bagaimana melempemnya mereka setelah ditinggal si tukang gigit dari Uruguay tersebut. Brendan Rodgers memang bukan pelatih jenius seperti yang sering mereka sesumbarkan. Lihat juga bagaimana Daniel Sturridge, terlepas dari perkara cedera yang terus menimpanya, lupa cara bagaimana mengancam jala lawan.

Sontak, ketika akhirnya manajemen (Fenway Sports Group) memecat Rodgers dan memberi jabatan pelatih kepada Klopp, harapan itu datang lagi. Reputasi dan prestasinya di Borussia Dortmund membuat gagasan sebagai klub besar kembali mengangkasa. Ini adalah perkawinan yang ditunggu. Pelatih muda dengan taktik dan pembawaan segar tentu cocok dengan klub bersejarah seperti Liverpool. Two worlds collide.

Nyatanya, permasalahan yang menghantui tetap sama. Klopp tidak mampu membenahi lini pertahanan Liverpool yang di pertandingan kontra Leicester bisa-bisanya mempercayakan posisi bek tengah kepada Lucas Leiva. Keberadaan Lucas di Liverpool pun sebenarnya perlu digugat: gagal sebagai gelandang serang, lalu tidak terlalu bagus saat pindah posisi sebagai gelandang bertahan.

Dari seluruh tim di enam besar pemuncak klasemen Liga Inggris, Liverpool menjadi tim dengan jumlah kebobolan terbanyak: 33 gol. United, yang mengintai di posisi 6 hanya mengizinkan lawan membobol gawang mereka sebanyak 21 kali. Seperti halnya di musim 2013/14, daya gedor Liverpool sangat tokcer. Mereka menjadi tim yang paling banyak mengoyak gawang lawan, 55 kali, sama seperti Chelsea sang pemuncak klasemen.

Semenyebalkan apapun Sir Alex Ferguson di mata Liverpool, beliau pernah mengeluarkan kalimat legendaris yang seharusnya dimaknai betul oleh Liverpool: “Attack wins you games, defence wins you title.” Keroposnya lini pertahanan Liverpool adalah masalah yang semua orang ketahui.

Di balik gegenpressing-nya yang agung serta mulia, pendekatan ini sebenarnya berisiko tinggi. Dari 33 gol yang bersarang ke gawang mereka, sebanyak 11 gol berasal dari skema bola mati dan penalti, atau 36% dari jumlah keseluruhan. Gaya dan intensitas gegenpressing membuat skuat rentan oleh cedera.

Lalu Klopp juga tidak bisa berkilah bahwa itu disebabkan oleh krisis pemain. Klopp sendiri yang mengasingkan Mamadou Sakho di awal musim sehingga membuatnya dipinjamkan ke Crystal Palace. Jika itu memang dilakukan sebagai cara membina pemain yang tak disiplin, mengapa tidak menambalnya dengan merekrut pemain baru?

Hal yang sama juga berlaku pada caranya memperlakukan Alberto Moreno. Setelah penampilan buruknya di final Liga Europa kontra Sevilla musim lalu, Klopp tidak mencari cara untuk menambal posisi bek kiri. Sekarang kita lihat saja, posisi tersebut dipercayakan kepada James Milner, seorang gelandang yang memasuki masa senja. Pun juga bek kanan di mana Nathaniel Clyne hanya mendapat persaingan dari pemain berusia 18 tahun Trent Alexander-Arnold.

***

Seperti yang saya utarakan di atas, proyeksi Klopp sebagai pelatih Liverpool adalah sesuatu yang di atas kertas akan langsung klop. Lihat bagaimana caranya mengaduk perasaan fans di konferensi pers perdananya. Lihat bagaimana dia mengajak semua pemain bergandengan tangan mengapresiasi penonton di stadion. Lihat bagaimana caranya merayakan selebrasi gol Adam Lallana di laga melawan Norwich musim lalu.

Ya, Norwich! Di tayangan ulang kita bisa melihat bagaimana ia melonjak dari kursi lalu mencari Lallana dan melambaikan tangan kepada gelandang serang tersebut untuk menghampirinya. Keduanya pun berpelukan sebelum akhirnya dikerubungi pemain-pemain lain.

Klopp memang pribadi yang meledak-ledak, tetapi ada yang salah jika seorang pelatih bangga merayakan kemenangan tipis setelah gawangnya dibobol sebanyak empat kali oleh tim sekelas Norwich. Di pertandingan biasa pula, bukan partai final atau laga menentukan lain.

Satu tahun setelah menjadi pelatih Liverpool (Oktober 2016), beberapa pendukungnya langsung membuat banner dengan gambar Klopp memegang gitar, bertuliskan “Heavy Metal Football” yang terpampang di laga melawan West Brom. Angin positif saat itu memang berembus kencang. Mereka baru kalah satu kali dari sembilan pertandingan.

Tapi akhirnya hantu itu datang lagi. Keroposnya lini pertahanan yang tidak juga ditambal Klopp, juga kebiasaan terlalu bersandar kepada satu pemain. Jika tiga tahun lalu sosok andalan ada pada diri Suarez, kali ini melekat pada Sadio Mane, meski dengan kadar yang berbeda.

Padahal andai saja mau berbenah, momentum bisa mereka yang genggam. Sama seperti Chelsea, Liverpool juga absen dari kompetisi Eropa karena musim lalu hanya mendudukki peringkat ke-8. Mereka juga hampir merasakan nikmatnya menjadi juara andai tidak takluk di final Liga Europa dan Piala Liga.

Klopp bisa saja menciptakan geger itu: menjuarai liga dengan sepak bola beroktan tinggi, heavy metal football. Istilah itu ia keluarkan usai laga Liga Champions kontra Arsenal tahun 2013 (kala itu masih bersama Dortmund). Klopp mengibaratkan gaya bermain Arsenal seperti konser orkestra, penuh dengan keindahan menjemukan. Sementara tim yang ia arsiteki lebih pantas disebut sebagai sepak bola heavy metal: penuh gairah dan semangat yang meledak-ledak.

Namun frasa itu perlu diubah. Liverpool bukan Dortmund yang memiliki manajemen terukur dan berpengalaman. Bersama Liverpool Jurgen Klopp lebih pantas disebut sepak bola slow rock.

Anda tahu, kan, slow rock? Genre musik yang setengah-setengah. Kita pernah dijajah genre ini lewat repertoar slow rock Malaysia (Amy Search, Exis, UKS). Musik mereka berlirik lagu-lagu cinta nan cengeng, tetapi tidak mau disebut pop, akhirnya terciptalah nama itu, “slow rock”. Gaya musisi yang memainkan genre ini juga sok macho betul, kontradiktif dengan musik dan liriknya.

Sementara heavy metal adalah musik dengan irama dan lirik yang menggelegar. Pionir genre ini ada di Birmingham lewat band-band seperti Black Sabbath dan Judas Priest. Salah satu nomor terbaik Judas Priest, “Painkiller”, takkan bisa disamakan dengan gaya bermain Liverpool.

Seperti slow rock, yang terkadang anthemic dan mengundang sing-along massal, Liverpool juga bisa menggugah penonton kala melawan tim-tim besar. Tapi permainan tersebut, selain rentan kebobolan yang akan menyulitkan mereka di tangga klasemen, juga sering tak terulang di laga-laga melawan tim papan bawah. Persaingan di liga adalah lomba maraton, bukan adu sprint. Konsistensi adalah salah satu kuncinya. Saya rasa, sebagai suporter Arsenal, saya paham betul makna akan konsistensi ini.

Dan sayangnya lagi bagi Klopp dan Liverpool, genre slow rock sudah jarang terdengar. Kecuali jika Anda sering bergaul dengan mamang-mamang yang tidak bisa move-on dari kenangan masa muda (tipe pria yang memasukkan baju, kaos ataupun polo shirt, ke dalam celana).

Kecuali jatah Liga Champions, Liverpool hampir bisa dipastikan tidak akan mendapat apa-apa musim ini. Penggemar Liverpool jangan seperti mamang-mamang pecinta slow rock yang selalu menyembah kejayaan di masa lampau. Ini adalah kali pertama ia menuntaskan musim dengan penuh (musim 2015/16 dilaluinya sejak Oktober). Menunggu Klopp menemukan formula tepat lebih baik ketimbang berharap ia segera dipecat.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com