Kolom Nasional

Tentang Kompetisi Antarklub ASEAN

Jauh sebelum muncul wacana ASEAN Super League, kawasan Asia Tenggara sudah terlebih dahulu membuat kompetisi regional wilayah mereka sendiri dengan nama ASEAN Club Championship. Turnamen ini sendiri mempertemukan seluruh juara dari kompetisi domestik seluruh negara di Asia Tenggara.

Ditambah beberapa peserta undangan dari negara lain seperti India dan Timor Leste (yang kala itu masih belum masuk keanggotaan federasi sepak bola ASEAN, AFF). Sayangnya, turnamen ini hanya terjadi dua edisi saja, yaitu pada tahun 2003 dan 2005.

Pada edisi perdana tahun 2003, Indonesia ditunjuk sebagai tuan rumah menggantikan Vietnam yang mengundurkan diri. Karena status tuan rumah inilah Indonesia berhak mengirimkan satu tim lagi selain juara kompetisi domestik, Petrokimia Putra. Persita Tangerang sebagai runner-up Liga Indonesia tahun 2002 kemudian menjadi satu perwakilan lain yang dikirimkan Indonesia ke ASEAN Club Championship.

Selain Petrokimia dan Persita, para peserta ASEAN Club Championship edisi perdana adalah, Samart United (Kamboja), F&R FC (Myanmar), Perak FA (Malaysia), Singapore Armed Force FC (Kini Warriors FC) (Singapura), DPMM (Brunei Darussalam), Hoang Anh Gia Lai (Vietnam),MCPTC (Laos), Philipine Army FC (Filipina), BEC Tero Sasana (Thailand), dan satu peserta undangan yaitu East Bengal dari India.

Bermain di dua stadion yaitu Gelora Bung Karno di Jakarta, dan stadion Petrokimia di Gresik, sebelas tim ini kemudian dibagi menjadi empat grup, yang setiap grupnya berisikan tiga tim peserta. Di kejuaraan antarklub ASEAN edisi perdana ini cukup banyak para pemain legendaris dari negara-negara ASEAN  ini masih berlaga membela klubnya masing-masing.

Turnamen ini mempertemukan nama-nama seperti Aris Budi Prasetyo, Zaenal Arief dari Indonesia, lalu Indra Putra Mahayudin, Indra Shahdan Daud dari Malaysia, serta Therdsak Chaiman dan tentunya, Zico dari Thailand, Kiatisuk Senamuang. Uniknya, Kiatisuk kala itu sedang berada di penghujung karier dan memperkuat tim asal Vietnam, Hoang Anh Gia Lai.

Turnamen ini juga menjadi waktu perkenalan almarhum penyerang asal Liberia, Frank Seator, kepada sepak bola Indonesia. Seator yang tampil memikat sepanjang turnamen bersama Perak FA dan berhasil menyarangkan lima gol, membuatnya dilirik oleh banyak kesebelasan di Indonesia. Musim selanjutnya, Seator kemudian mendarat di Indonesia untuk memperkuat PSMS Medan.

Penyerang legendaris India, Baichung Bhutia juga ikut andil dalam turnamen kali ini. Bahkan ia keluar sebagai pencetak gol terbanyak dengan delapan gol. Lebih hebatnya lagi, Bhutia berhasil membawa timnya East Bengal menjadi juara meskipun berstatus sebagai undangan. Di partai puncak, Bhutia dan East Bengal mengalahkan tim asal Thailand, BEC Tero Sasana.

Sementara itu kiprah perwakilan Indonesia di edisi perdana kejuaraan antarklub negara-negara Asia Tenggara ini bisa dibilang tidak terlalu buruk. Persita Tangerang yang masih diperkuat oleh Ilham Jayakesuma, Firman Utina, dan Zaenal Arief melaju hingga babak perempatfinal.

Sementara itu, Petrokimia bisa melaju ke babak semifinal. Sayang perjuangan mereka kandas oleh East Bengal yang kemudian keluar sebagai juara. Petrokimia kemudian bisa menghibur diri dan publik sepak bola Indonesia setelah meraih medali perunggu dengan mengalahkan Perak FA di perebutan tempat ketiga.

Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2005 kejuaraan ini kembali digelar. Brunei Darussalam ditunjuk sebagai tuan rumah pada turnamen edisi kedua sekaligus yang terakhir. Pada kesempatan kali ini, Indonesia tidak mengirimkan perwakilannya karena satu dan lain hal. Selain Indonesia, Laos juga tidak mengirimkan juara mereka pada kompetisi kali ini. Peserta menyusut dari edisi sebelumnya menjadi delapan tim.

Karena peserta lebih sedikit, kompetisi secara keseluruhan mengalami penurunan antusiasme. Satu-satunya catatan penting dari tunamen antar klub Asia Tenggara edisi kedua dan terakhir ini adalah ketika Hoang Anh Gia Lai membantai tim undangan asal Timor Leste, Zebra FC dengan skor telak 14-1.

Tampines Rovers yang kala itu masih diperkuat oleh Noh Alam Shah dan Mustafic Fachrudin berhasil keluar sebagai juara. Tampines berhasil mengalahkan klub asal Malaysia, Pahang FA di partai final yang digelar di Hassanal Bolkiah National Stadium dengan skor 4-2.

Sayang, setelah edisi terakhir di Brunei, tanpa ada penjelasan yang pasti. Kejuaraan antarklub wilayah Asia Tenggara kemudian tidak lagi terdengar kabarnya. Sampai pada tahun 2015, federasi sepak bola Asia Tenggara, AFF, mewacanakan akan bergulirnya kompetisi antar negara ASEAN dalam format liga dengan nama ASEAN Super League.

Perlukah ASEAN Super League?

Wacana ASEAN Super League memang masih betul-betul mentah. Belum ada kejelasan (atau penekanan) yang pasti dari AFF selaku federasi sepak bola regional Asia Tenggara terkait mempertemukan para juara di wilayah tersebut. Wajar jika ada beberapa kesebelasan menolak ikut atau membuat alasan formalitas seperti ingin mendalami terlebih dahulu soal kompetisi antar klub Asia Tenggara versi modern ini.

Aspek positif dari digelarnya turnamen antar negara Asia Tenggara ini cukup banyak. Selain bisa menjadi ajang uji kekuatan selain di level negara dalam Piala AFF, kejuaraan antarklub Asia Tenggara ini juga membuat setiap klub peserta bisa saling belajar soal aspek sepak bola mereka kepada negara lain secara tidak langsung.

Terlebih ini akan menghadirkan iklim yang lebih kompetitif di kawasan Asia Tenggara. Mengingat, hanya kesebelasan asal Thailand, Malaysia, dan Indonesia saja yang biasanya bisa cukup banyak berbicara di level AFC Champions League atau AFC Cup. Setidaknya dengan adanya kompetisi antar klub ASEAN, klub dari negara-negara seperti Laos, Kamboja, dan Timor Leste bisa merasakan pengalaman bertanding secara internasional yang tentunya sangat bagus untuk perkembangan klub dan sepak bola negara mereka.

Pun dengan pemilihan pemain. Jadi sederhananya, andai tidak ingin repot mengirimkan pemandu bakat untuk memantau pemain tertentu, bisa dengan menunggu ketika tim asal pemain tersebut saling bertemu dan bertanding. Pendapa saya pribadi, rasanya lebih baik mengontrak pemain asal Asia Tenggara ketimbang para pemain Asia Timur abal-abal. Dengan harga kontrak yang lebih terjangkau, tentunya.

Akan tetapi, soal kejuaraan antarklub di wilayah Asia Tenggara ini memang perlu dimatangkan konsepnya dan kajian yang lebih dalam lagi. Masalahnya, di wilayah ASEAN saja, ada negara yang kompetisinya bahkan bobroknya minta ampun.

Author: Aun Rahman (@aunrrahman)
Penikmat sepak bola dalam negeri yang (masih) percaya Indonesia mampu tampil di Piala Dunia.