Kolom Nasional

Problematika Komentator Sepak Bola di Indonesia

Sebagai suporter sepak bola, mendatangi stadion guna menyaksikan tim pujaan berlaga secara langsung merupakan sebuah kenikmatan yang tak bisa didustakan. Tak peduli hujan deras mengguyur atau matahari bersinar amat terik, berdiri di tribun sembari meneriakkan yel-yel dukungan adalah hal yang wajib dilakukan, terlebih bagi mereka yang mengklaim dirinya sebagai suporter fanatik atau ultras.

Silakan bertanya kepada kelompok suporter sepak bola macam Aremania, Bonek atau The Maczman, kesan seperti apa yang bisa mereka rasakan dan dapatkan kala mendukung klub kesayangannya masing-masing di stadion. Saya yakin, takkan ada jawaban negatif yang meluncur dari mereka.

Akan tetapi, tak semua pendukung suatu kesebelasan memiliki keistimewaan itu, khususnya dalam hal isi dompet dan waktu, untuk bisa hadir di stadion setiap saat. Misalnya saja saya yang seorang penggemar Persebaya Surabaya dan Internazionale Milano. Berapa banyak uang yang mesti saya keluarkan jika, misalnya, hampir setiap pekan harus menonton Persebaya di Gelora Bung Tomo atau Internazionale di Giuseppe Meazza? Berapa banyak pula waktu yang harus saya habiskan untuk bertamasya dari Lombok ke Surabaya atau dari Lombok ke Milan demi menyaksikan pemain dan klub pujaan?

Maka dari itu, di tengah peradaban modern dan serba gampang ini, sebuah alternatif menyaksikan laga-laga klub kesayangan pun muncul dalam bentuk tayangan digital. Entah melalui televisi atau streaming via internet. Apalagi hal tersebut bisa didapat dengan cara yang mudah dan harga yang murah. Tak perlu minder juga bila kemudian kita mendapat label suporter layar kaca. Sebab yang terpenting, “ibadah” menyaksikan tim jagoan berlaga bisa ditunaikan setiap pekan.

Khusus di Indonesia, kita sebagai penikmat sepak bola harus sering-sering bersyukur karena cukup banyak kanal televisi swasta yang menyiarkan pertandingan-pertandingan sepak bola berkelas dari kompetisi lokal maupun luar negeri.

Meski begitu, kita juga harus mengakui bila menyaksikan pertandingan di depan layar kaca jelas amat berbeda sensasinya. Riuh rendah penonton yang berteriak gembira atau bersiul-siul tanda kecewa jelas takkan terdengar selayaknya kita hadir langsung di stadion.

Kenyataan itu pula yang kemudian melahirkan profesi komentator pertandingan. Orang-orang yang berkecimpung di bidang inilah yang memiliki tugas pokok membawa para penonton layar kaca seolah-olah merasakan atmosfer yang sama seperti kala berada di stadion.

Sosok-sosok berbakat, memiliki kemampuan verbal yang apik dan memahami seluk-beluk laga yang dipandunya, baik balap, bisbol, tinju maupun sepak bola, menjadi syarat mutlak agar bisa menjadi komentator yang baik dan kredibel.

Konon, profesi ini sendiri muncul pertama kali di tahun 1912 silam tatkala Florent Gibson yang bekerja untuk koran Pittsburgh Star menjadi komentator untuk pertarungan antara Johnny Ray melawan Johnny “Hutch” Dundee.

Dan khusus di bidang sepak bola, pencinta sepak bola masa kini sudah tentu hafal betul dengan suara khas Jon Champion atau Peter Drury yang sering mendampingi kita saat menonton pertandingan-pertandingan di Liga Primer Inggris, Liga Champions Eropa atau bahkan Piala Dunia. Suara keduanya juga nongol di beberapa seri game sepak bola kondang, Pro Evolution Soccer, yang dibuat oleh pengembang game terkemuka asal Jepang, Konami.

Bergeser ke negeri sendiri, pencinta sepak bola jelas sudah amat sangat familiar dengan nama Hadi Gunawan, Rendra Sujono maupun Valentino Simanjuntak. Atau, legenda era 90-an dahulu, sang komentator legendaris Hardimen Koto yang fenomenal betul komentarnya kala memandu jalannya sepak bola.

Tapi di era modern, tiga nama pertama adalah yang tengah menguasai dunia komentator sepak bola dalam negeri. Ketiganya begitu sering wara-wiri di beberapa kanal televisi swasta nasional guna memandu jalannya laga yang ditayangkan secara langsung, baik kompetisi lokal ataupun liga-liga mancanegara.

Apalagi tiga figur tersebut dan beberapa komentator sepak bola Indonesia yang lain juga memiliki ciri khas yang berbeda satu sama lain. Sehingga kita tak merasa kesulitan untuk mengenali siapa yang tengah memandu jalannya pertandingan.

Berkat pengorbanan mereka yang bicara tanpa henti hampir selama 90 menit pertandingan, kita benar-benar bisa merasakan atmosfer pertandingan yang sesungguhnya. Kejadian-kejadian penting yang terjadi di atas lapangan pun seakan tak terlewatkan oleh suara-suara lantang mereka.

Kadangkala terlintas di kepala saya bahwa tugas mereka mirip sekali dengan guru. Bedanya, guru membagikan ilmunya kepada para murid, sementara komentator membagikan pengetahuannya perihal olahraga tertentu untuk para penonton.

Awalnya, mendengar jeritan kata “ahay”, “jeger” atau “jebret” dari mulut mereka jadi sensasi tersendiri yang bahkan dinanti hampir saban minggu. Namun entah mengapa, kenikmatan menyaksikan pertandingan sepak bola dengan mereka sebagai komentatornya justru berubah jadi rasa jemu belakangan ini.

Penyebabnya tak lain tak bukan karena ucapan-ucapan komentator tersebut yang kini justru semakin tidak menunjukkan kualitas yang baik. Pencinta sepak bola mana yang lupa akan sebutan ‘Suami Muda’ bagi kakak beradik asal tim nasional Filipina, James dan Phil Younghusband? Maaf-maaf saja, hal tersebut sama sekali tidak lucu lantaran itu adalah nama keluarga James dan Phil. Memangnya Anda sendiri mau kalau nama Anda diganti-ganti seenaknya?

Anda juga tentu juga masih ingat dengan ujaran ini bukan?

“Indonesia menjadi bulan-bulanan, bahkan tahun-tahunan oleh serangan yang dibuat oleh Thailand.”

Komentar tersebut seringkali kita dengar saat gelaran Piala AFF 2016 yang lalu. Hampir di setiap laga, kalimat ‘bulan-bulanan’ dan ‘tahun-tahunan’ jadi konsumsi wajib bagi telinga kita. Penggemar sepak bola Indonesia juga pasti tidak akan lupa pada salah satu komentator sepak bola Indonesia yang saking antusiasnya justru gagal mengucapkan kata ‘kontrol’ dengan baik dan benar.

Belum lagi istilah-istilah seperti tendangan LDR (mengacu pada long distance relationship alias hubungan jarak jauh) yang sejatinya bermakna tendangan jarak jauh atau gratifikasi umpan yang berarti memperoleh bola akibat kesalahan umpan lawan.

Hal serupa juga dirasakan para penggemar sepak bola Indonesia selama gelaran Piala Presiden 2017 berlangsung beberapa pekan terakhir. Sampai-sampai ucapan nyeleneh dari komentator pertandingan menjadi bahan perbincangan di media sosial dan menjadi viral.

Komentator sepak bola Indonesia memang amat jenius dalam menciptakan istilah-istilah baru yang kemudian lekat dengan mereka. Istilah-istilah macam itu juga kadang bisa membuat para penonton tergelak sekaligus meningkatkan popularitas sang komentator.

Sayangnya, para komentator ini seolah lupa jika hal-hal demikian diulang-ulangi terus setiap saat, kesan hiburan yang diharapkan justru terasa hambar dan membosankan. Terlebih, aksi-aksi yang mereka tunjukkan kala mengomentari sebuah laga malah terkesan riuh sendiri. Lalu apa yang bisa kita, para penonton, nikmati dari pertandingan itu? Haruskah kami memencet tombol mute setiap kali menyaksikan pertandingan sepak bola?

Sebagai orang yang memiliki kompetensi khusus dan bahkan dibayar dengan cukup tinggi, ada baiknya para komentator Indonesia ini kembali ke khitahnya yakni memandu jalannya laga dengan cara yang semestinya. Silakan saja menciptakan ujaran khas macam “ahay”, “jeger” atau “jebret”, namun jangan membuat segala sesuatunya jadi berlebihan layaknya seorang juru kampanye sedang berkoar-koar tentang pasangan calon yang diusungnya.

Jujur saja, kuping saya berdenging ketika sang komentator mengucapkan kalimat “prahara rumah tangga” dalam sebuah pertandingan. Saya pun jadi bertanya-tanya, ini pertandingan sepak bola atau acara gosip?

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional