Kolom Eropa

Kisah Kursi Lowong di Kandang Hoffenheim

What’SAP, Hoppenheim?

Jika TSG 1899 Hoffenheim adalah seorang manusia, kemungkinan besar ia akan menghadiahkan saya bogem mentah atas kekurangajaran saya yang sungguh sangat keterlaluan.

Untung Hoffenheim bukan manusia. Terima kasih saya ucapkan kepada yang di atas (bukan Bayern, apalagi Stuttgart), karena saya hanyalah remaja kurus kering yang babak belur setiap kali ditiup angin.

Maaf, mungkin kesalahan saya isn’t in the joke, melainkan ketidakjelasan candaan tersebut. Well, Hoffenheim disokong oleh CEO perusahaan perangkat lunak SAP, Dietmar Hopp.

Apa hubungan joke garing saya dengan kekesalan Nagelsmann? Nggak ada, ini cuma cocoklogi. Clickbait. Maaf sebesar-besarnya utang Manchester United, pembaca tersayang. Sampai jumpa di paragraf berikutnya.

Saya, Alicia Altamira, undur diri.

Selamat siang dan salam olahraga!

***

Pernahkah Anda mendengar tentang Aturan 50+1? Kalau belum, kesimpulannya adalah anggota klub harus memiliki saham mayoritas (tepatnya 50% ditambah satu orang), kecuali kalau seseorang atau perusahaan sudah membantu klub tersebut secara finansial selama 20 tahun berturut-turut. Aturan ini dibuat agar klub tidak dikuasai investor, dan keputusan disetujui oleh semua pihak.

Dietmar Hopp tidak ikut Leverkusen (Bayer) dan Wolfsburg (Volkswagen) jadi pengecualian secara resmi, tapi investasinya kepada Hoffenheim signifikan. Saat Hopp mulai menggelontorkan uangnya pada tahun 2000, klub asal Baden-Wuerttemberg ini berada di divisi ke-5 sepak bola Jerman, dan delapan tahun kemudian, mereka sampai di Bundesliga.

Hoffenheim adalah sebuah desa yang penduduknya hanya 3.000-an. Sebagai klub amatir, mereka tidak dapat menarik banyak pendukung, dan saat mereka promosi dan promosi lagi, mentalitas suporter yang antikomersialisme hanya membuat mereka lebih infamous untuk sebagian besar fans lokal.

Fans internasional lebih mudah didapat, tentu, siapa sih yang tak senang kuda hitam macam Hoffe, yang baru naik aja sudah menantang Bayern, bahkan menjadi Herbstmeister (pemuncak klasemen sebelum jeda musim dingin). Sayang, fans internasional nggak bisa seenaknya ditarik ke Wirsol Rhein-Neckar-Arena walaupun klub yang bukan manusia ini ngebet setengah mati untuk mengisi penuh 30.150 kursi dalam stadion yang terletak di Sinsheim tersebut.

Oke, fine, mereka medioker. Tapi itu kan dulu! Sekarang Hoffenheim bertengger di peringkat kelima, dan mereka nggak main-main. It’s attractive football dengan banyak gol, prestasi yang mengingatkan pendukung kesebelasan berseragam biru ini pada paruh pertama musim 2008/2009.

“Hoffenheim berada di puncak. Kami berharap agar stadion ini terisi penuh minggu-minggu berikutnya,” kata Julian Nagelsmann sebelum pertandingan melawan Mainz 05 matchday lalu (4-0), “saya tidak peduli kalau penonton mau bersiul-siul atau bersorak sorai sepanjang pertandingan. Yang penting full.”

Bukan hanya sang pelatih yang berpikir demikian. Sang sporting director Alexander Rosen mengaku bahwa sedikitnya penonton membuatnya kesal. “Bangku kosong sebanyak itu tidak sebanding dengan kerja keras yang dilakukan tim ini.”

Kzl-nya Nagelsmann dan Rosen memang beralasan. Die Kreichgauer hanya sekali sold out dari sepuluh pertandingan di kandang sendiri, tepatnya ketika kontra Dortmund Desember lalu. Sakit? Sakit dong! Away days-nya sama saja. Hanya pertandingan di Allianz Arena yang sold out.

Tapi melihat dari status mereka sebagai ‘plastic club’, situasi ini tidak terlalu buruk. Musim lalu, rata-rata pendatang Rhein-Neckar-Arena adalah 27.574, sedangkan musim ini 27.788.

Memang sih, masih ada 14 matchday yang tersisa (dan pertandingan selanjutnya Hoffenheim akan menghadapi Darmstadt, klub yang jauh lebih kecil daripada Dortmund), tapi saya yakin, itu lebih dari cukup untuk menambah penonton.

Caranya? Dengan mempertahankan permainan atraktif penuh gol, dong. Dan harus menang terus, nempel Bayern kalau perlu. Iya, ngomong sih gampang. Tapi, mau bagaimana lagi?

Jangan liatin saya kayak begitu, dong. Anda kira saya punya mesin waktu yang bisa mundur ke tahun 2000 biar Hopp ngasih fondasi ‘seperlunya’ dan bukannya ‘buang-buang uang’ untuk klub masa kecilnya?

Anda kira naik dari divisi amatir semulus naik-turunnya Hertha BSC? Di bawah 3. Liga, kompetisi dibagi-bagi sesuai daerah. Hoffenheim belum tentu bisa seperti Augsburg, lho.

Ah, sudahlah. Saya lelah membicarakan skenario yang tak mungkin terjadi. Mending nonton Kasperle.

Siapa itu Kasperle?

Well, Kasperle itu…ehem, sabar, ya. Ada waktunya saya jelaskan itu.

Saya, Alicia Altamira, harus undur diri dulu.

Selamat siang dan salam olahraga!

Author: Alicia Altamira (@freibulous72)
Pecinta SC Freiburg yang hobi mengantar pembaca ke neraka klub antah berantah dengan filosofi ‘Fußball meets fun’.