Eropa Prancis

Adrien Rabiot: Si Ceking Jenius dari Prancis

Leg pertama babak 16 besar Liga Champions menghasilkan kejutan dalam wujud luluh lantaknya Barcelona di tangan Paris Saint-Germain (PSG). Tidak tanggung-tanggung, klub Katalan itu dicukur empat gol tanpa balas.

Angel di Maria, lewat dua golnya menunjukkan kembali kepada dunia bahwa kegagalannya di Manchester United memang disebabkan Louis van Gaal. Kehadiran Julian Draxler dan Marco Veratti menunjukkan kepada Luis Enrique bahwa ia tidak bisa terus menerus mengandalkan skuat warisan Pep Guardiola.

Lalu terjadilah momen itu: Lionel Messi di-kolong-in (nutmegged) Adrien Rabiot, pemuda ceking dengan potongan rambut ala personil band indie rock.

Ya, meski tidak mencetak gol, duetnya bersama Veratti terlihat begitu padu memecundangi para gelandang yang beberapa tahun silam pernah menaklukkan dunia di berbagai level. Rabiot sukses melakukan 3 tekel sukses, 4 intersep, dan 1 clearances. Atributnya lebih layak disorot di aspek-aspek tersebut karena ia seorang gelandang bertahan.

Rabiot juga menjadi pemain yang paling banyak melakukan operan di pertandingan yang didominasi Barcelona dari sisi penguasaan bola tersebut: 55 operan dengan akurasi di angka 87,3 %. Meski berposisi sebagai gelandang bertahan, ia juga mampu menorehkan 1 sepakan on-target dan 1 operan kunci.

Tanpa mengindahkan penampilan superior rekan-rekannya yang lain, catatan Rabiot begitu impresif karena umurnya baru 21 tahun dan tampil di pentas megah melawan salah satu raksasa sepak bola.

Berkarier di PSG yang dipenuhi banyak superstar sepak bola, hikayat Rabiot awalnya tidak terlalu mulus. Namanya kalah mentereng dengan Veratti yang sejak di Italia sudah digadang-gadang sebagai pewaris takhta Andrea Pirlo yang sejati.

Selain itu, dengan modal finansial berlimpah, PSG telah dengan santai menyia-nyiakan bakat muda terbaik Perancis seperti Mamadou Sakho, Kingsley Coman, hingga Lucas Digne, yang uniknya, berkostum Barcelona di musim ini.

Rabiot, yang diresmikan pada musim 2012-13, adalah pemain homegrown pertama yang direkrut PSG era sheikh El-Khelaifi. Rabiot harus bersaing bukan hanya dengan nama-nama mentereng, tapi juga berkebangsaan berbeda. Tak pelak, ia yang kala itu baru berumur 17 tahun dipinjamkan ke klub Perancis lain, Toulouse.

Musim ini pun ia masih harus bersaing dengan nama-nama besar seperti Thiago Motta dan Blaise Matuidi. Tetapi ketika ada kesempatan merumput, ia tak menyia-nyiakannya, seperti yang ia pertontonkan di laga melawan Barcelona.

Pelatihnya, Unai Emery diberkahi bakat-bakat belia lain seperti Jonathan Ikoné (18 tahun), Alphonse Areola (23), Christopher Nkunku (19), dan Presnel Kimpembe (21) dan berbeda dengan pelatih-pelatih Le Parisien sebelumnya, ia tidak segan untuk memercayai bakat-bakat mereka.

Begitu pula di Ligue 1. Di enam pertandingan terakhir ia selalu dimainkan Unai Emery, pelatih yang baru direkrut PSG di awal musim ini. Dari 6 pertandingan tersebut, ia tampil 3 kali sejak menit pertama. PSG menyapu bersih keenam laga tersebut dengan hanya satu kali hasil imbang.

Rabiot sadar akan bakat besarnya, dan kerap secara terang-terangan berkata di media agar PSG melepas saja dirinya ke klub lain. Sesuatu yang membuat namanya kerap dikait-kaitkan dengan Arsenal di masa-masa transfer pemain.

Dengan reputasi PSG yang rela menjual pemain-pemain muda, ditambah sumber daya finansial mumpuni, maka satu-satunya alasan Rabiot masih berseragam PSG adalah bakat. Kemampuannya itu juga diakui oleh sang juragan, Nasser al-Khelaifi:

“Bakatnya hebat. Impian saya adalah ia suatu saat akan menjadi kapten PSG. Tapi dia harus menghargai klub, pelatih dan rekan-rekan setimnya.”

Dengan penampilan memukaunya di laga melawan La Blaugrana, kontan membuat klub-klub lain mawas dan kepincut untuk meminangnya.

Tetapi seharusnya ia tak perlu ikut-ikutan gatal lalu menuntut hengkang. Ia saat ini dilatih oleh salah satu pelatih muda piawai. Emery telah terbukti sukses menakhodai klub yang secara finansial terbatas, namun mampu membawa masing-masing klub ke pencapaian yang tak terduga.

Emery juga telah memoles bakat-bakat muda seperti Juan Mata, Jordi Alba, Ivan Rakitic dan Ever Banega. Meski kini dianugerahi fulus melimpah, filosofi itu tetap Emery terapkan. Di pentas Ligue 1, pelatih asal Basque itu memainkan Rabiot sebanyak 17 kali, Areola (15), Kimpembe (11), dan Nkunku (5).

PSG memang merupakan tim sepak bola dengan warna kosmopolitan, yang terlalu mendominasi sepak bola Perancis. Namun, kiprah mereka hanya dipandang sebelah mata karena berada di liga kasta menengah. Di Liga Champions Eropa pun mereka belum mampu berbicara banyak.

Tetapi lagi-lagi, nama Emery yang berpengalaman membawa Sevilla meraih tiga gelar Piala Eropa, serta kemustahilan Barcelona membalas di leg kedua, seharusnya membuat Rabiot terus yakin membela panji PSG.

Rabiot juga harus sadar, Motta dan Matuidi tidak lagi belia. Umur tidak akan mengkhianati penampilan di atas lapangan. Lagi pula, ia adalah pemain kelahiran asli kota Paris.

Ayahnya, Michel, juga seorang pendukung fanatik PSG. Masa depan masih terbentang panjang, jangan hanya karena tidak sabar, ia mengalami nasib seperti Florian Thauvin atau Morgan Schneiderlin.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com