Dunia Kolom

Mesir, Sepak Bola, dan Revolusi yang (Belum) Selesai

Bagian I

George Orwell, penulis masyhur Inggris abad ke-20 dalam esainya yang berjudul “The Sporting Spirit” menulis, “Sudah ada cukup banyak masalah, jadi alangkah baiknya apabila kita tidak menambah masalah dengan menyuruh anak-anak muda saling tendang satu sama lain di tengah jeritan marah para penonton.”

Latar esai tersebut adalah pertandingan persahabatan antara Dynamo Moskow melawan Arsenal dalam hajatan eksibisi klub Rusia tersebut ke tanah Britania. Selain menghadapi Arsenal, Dinamo juga meladeni Chelsea, Cardiff City, dan Glasgow Rangers.

Lawatan ini merupakan langkah politis untuk menjembatani hubungan Rusia-Inggris usai Perang Dunia ke-2. Hubungan kedua negara cukup erat karena perkongsian mereka dalam menghadapi Nazi Jerman. Kunjungan Dinamo Moskow menjadi kunjungan pertama klub Rusia ke tanah Inggris Raya.

Orwell gelisah, menganggap pertandingan-pertandingan tersebut tiada berfaedah. Posisi Inggris saat itu memang sedang main mata dengan Rusia, sesuatu yang Orwell benci. Ia kiri yang skeptis. Pengalamannya berperang di Katalan membuat posisinya sedikit berpaling ke anarko-sindikalis yang anti-Stalin.

Dalam konteks sepak bola, Jamie Rainbow di World Soccer (15/2/2014) menerangkan bahwa lawatan ini adalah kali pertama Inggris diberi pelajaran mengenai sepak bola, sebelum nantinya dalam kadar yang lebih dahsyat, Inggris dibantai di Wembley oleh anak-anak Magical Magyars Hungaria yang dahsyat itu.

Perang Dunia ke-2 telah mengubah konstelasi dunia. Di Eropa, Jerman kemudian menjadi “the sick man of Europe” terkait kekalahan dan aib yang harus mereka tanggung akibat ulah Adolf Hitler.

Negara-negara yang bertarung di peristiwa penting peradaban manusia tersebut membuat mereka kehilangan daya di negara-negara yang mereka jajah. Tak pelak, ini membuat banyak negara jajahan yang mendapatkan momentum untuk memerdekakan diri.

Mesir, kala itu, menjadi perebutan antara Kekaisaran Ottoman Turki dan Inggris. Baru pada tahun 1952, negeri tersebut benar-benar bebas dari kehadiran Inggris setelah Revolusi 23 Juli pimpinan Gamal Abdul Nasser turut menurunkan pemerintahan boneka Raja Farouk.

Tidak benar-benar bebas sebetulnya, karena nasib membuat mereka seperti negara-negara poskolonial lain: terkesan berdaulat, namun sebetulnya di bawah kendali pemenang perang sesungguhnya, Amerika Serikat.

Kisruh dunia termutakhir di kawasan ini adalah Arab Spring, revolusi-revolusi yang bergolak di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara. Mesir, terinspirasi dari Revolusi Melati di Tunisia turut bergolak menuntut turunnya Hosni Mubarak dari kursi presiden.

Revolusi tersebut mulanya berhasil. Mubarak lengser sehingga terpilihlah Muhammad Morsi dari kalangan Islam. Sepak bola turut memainkan peranan, meski revolusi kemudian meminta korban di peristiwa yang disebut-sebut sebagai tragedi sepak bola paling berdarah dalam sejarah.

Bagian II

Dalam majalah World Soccer Indonesia (Maret 2013), James Montague menceritakan gairah rakyat Mesir karena akhirnya sepak bola dapat kembali hadir setelah satu tahun terhenti akibat tragedi Port Said yang menewaskan 74 jiwa beserta lebih dari 500 lainnya luka-luka.

“Kita semua menyadari tragedi itu. Tragedi itu tidak akan pernah hilang dari ingatan atau hati kita, namun ada juga saat, tanpa pernah melupakan hal itu, kita harus melangkah maju.” Kata Bob Bradley, pelatih tim nasional Mesir saat itu seperti dikutip majalah tersebut.

Ya, tragedi tersebut selamanya akan meninggalkan luka. Di pertandingan antara tuan rumah Al-Masry dengan klub terkuat Mesir, Al-Ahly, stadion Port Said berubah menjadi arena pertumpahan darah.

Setelah peluit akhir berbunyi, lampu stadion tiba-tiba mati. Suasana semakin gaduh tak terkendali karena pendukung Al-Masry merengsek masuk ke dalam lapangan mengejar para pemain Al-Ahly. Penonton panik. Namun, seganjil lampu stadion yang mendadak mati, akses keluar stadion juga terkunci.

Anda bisa melihat di rekaman video yang ada di kanal YouTube, bagaimana nyawa para suporter harus pupus dengan cara ditusuk, ditikam, dilempar batu, diinjak, hingga dilempar dari tribun penonton. Pemain-pemain Al-Ahly bahkan melihat salah satu penonton meregang nyawa di kamar ganti mereka. Mohamed Aboutrika, Mohamed Barakat, dan Emad Moteab memutuskan berhenti menendang bola akibat peristiwa ini.

Sontak, pers dan pengamat menuding peristiwa ini adalah rekayasa dari sisa-sisa kekuatan Mubarak untuk membalas revolusi yang menjungkalkan pemimpin mereka. Suporter Al-Ahly memainkan peranan penting dalam revolusi tersebut. Ultras mereka, yang didirikan relatif baru pada 2007, menjadi pahlawan revolusi karena kehadirannya yang vital kala Lapangan Tahrir menjadi pusat demonstrasi. Semangat mereka membuat para demonstran lain sanggup mengatasi rasa takut melihat aparat bersenjata. Tradisi mereka mengkoordinasi diri di setiap pertandingan menjadikan mereka piawai dalam manajemen aksi.

Pemerintah Mesir pada akhirnya telah menghukum mati mereka yang didakwa menjadi biang peristiwa nahas ini. Namun, yang tragis, bisa dibilang revolusi Mesar masih gagal.

Di titik inilah saya mencoba mengungkapkan betapa sepak bola, jika kita pikir dengan jernih, takkan sanggup menggantikan nyawa yang hilang. Revolusi belum tuntas karena setelah Morsi terpilih, ia justru mengarah ke garis Islam dan memodifikasi konstitusi yang membuatnya memiliki wewenang kuat melebihi presiden-presiden sebelumnya.

Seiring krisis yang melanda, sepak bola turut terkena getahnya. Seperti yang ditulis Budi Windekind beberapa hari lalu, keberhasilan Mesir melenggang ke final Piala Afrika 2017 merupakan sebuah momen yang mencuatkan harapan untuk kembali merajai Benua Afrika setelah sebelumnya dibikin payah oleh kondisi negeri yang tak menentu.

Bagian III

Bek kanan timnas Mesir yang membela Hull City, Ahmed Elmohamady, dalam laporan di Guardian (1/2) berkata, “Setelah segala hal yang terjadi di negeri kami dalam beberapa tahun terakhir, di dunia sepak bola maupun hal lain, para penggemar ingin kembali merayakan juara. Kami sangat siap untuk melaju ke semifinal, memenangkan final, dan pulang dengan memboyong piala.”

Dalam sudut pandang tertentu, eskapisme ini bisa menjadi penawar hati bagi rakyat Mesir. Sepak bola punya potensi untuk menggaungkan ide-ide seperti persatuan bangsa.

Sebobrok apapun Indonesia mengurus kompetisi, sekorup apapun rezim yang mengepalai asosiasi, perhatian rakyat sedikit dicuri oleh penampilan timnas di setiap ajang yang mereka ikuti.

Di lapangan hijau pula kita bisa melihat kulit Papua bahu-membahu bersama kulit kuning gelap Jawa. Isu-isu disintegrasi sekejap menguap, larut oleh teriakan demi teriakan para penonton di stadion dan rumah-rumah. Sepak bola, dengan ini, menjelma menjadi ruang publik di mana suatu ide bisa diejawantahkan dalam kontur yang cair dan menegangkan.

Seiring dikudetanya Morsi oleh junta militer, Mesir masih saja bergemuruh. Perhatian dunia terlalu tertuju kepada Suriah, padahal negeri Firaun ini masih dilanda ketidakmenentuan setelah kini dipimpin Abdel Fattah Al-Sisi. Militer Mesir memang pihak kuat dalam percaturan kekuasaan di salah satu negeri yang telah eksis sejak peradaban kuno ini.

Resistensi Ikhwanul Muslimin (IM) yang merupakan pendukung Morsi turut mewarnai kehidupan sipil di Mesir. Pihak Al-Sisi menyebut mereka sebagai organisasi teroris sehingga kekuasaannya menjebloskan ribuan anggota IM beserta Morsi ke dalam penjara.

Kebebasan pers (berpendapat), yang menjadi cita-cita Revolusi 2011 turut dibungkam al-Sisi. Jurnalis asing hingga nasional dicekal juga ditahan. Belum lagi jika kita menghitung orang-orang yang menghilang tanpa jejak.

Al-Sisi dianggap Barat sebagai pihak penting pengawal kepentingan mereka di Timur Tengah. Dengan demikian, Mesir menjadi salah satu negara selain Arab Saudi yang menjadi konco mesra kepentingan Amerika Serikat dan kawan kawan. Prinsip sederhananya: “Halau Iran, nanti kami jamin investasi-investasi berdatangan ke negeri Anda.”

Sengkarut ini sedemikian rumit, hingga kemudian muncul pihak-pihak yang tak berpikir panjang lalu menambah luka.

Pada 9 Desember tahun lalu, sebuah bom yang menargetkan kendaraan aparat di kota Kafr al-Sheikh membunuh satu orang warga dan tiga polisi. Di hari yang sama, bom yang lain menewaskan 6 polisi dalam perjalanan mereka menuju piramida. Dua hari setelahnya, terjadi pembantaian di suatu gereja Kristen Koptik di Kairo, merenggut 25 nyawa yang kebanyakan perempuan dan anak-anak.

Al-Sisi bertaruh di pihak yang kuat. Betting on the strong side. Walhasil oposisi ditekan sedemikian rupa tanpa mengindahkan prinsip-prinsip kemanusiaan karena toh pemegang kuasa atas HAM berada di pihak mereka. Pertaruhannya itu turut pula membuat negaranya diguyur pinjaman dari IMF sebesar 12 miliar dolar.

Sementara itu, pelatih Mesir Hector Cuper juga memulai pertaruhannya yang baru. Pelatih yang mencuat karena membawa Valencia ke final Liga Champions ini dikenal sebagai sosok yang selalu gagal membawa timnya ke podium juara.

Dini hari tadi, Cuper kembali mengakrabi kawan lamanya: kekalahan di babak akhir.

Bersama Elmohamady, Mohammed Salah, Mohammed Elneny dan kawan-kawan, Cuper telah sejenak mengajak rakyat Mesir menghela napas, walau akhirnya harus mengakui keunggulan Kamerun lewat gol cantik Vincent Aboubakar di menit 88.

Setelah absen di tiga Piala Afrika sebelumnya, pencapaian ini tetaplah patut diapresiasi. Federasi pun di awal menyewa jasa Cuper menargetkannya untuk lolos ke Piala Dunia 2018 nanti, bukan menjuarai Piala Afrika 2017. Kegagalan ini, jika dilihat dari sudut pandang lain, menjadi sebuah batu pijak untuk berjuang memastikan tempat sebagai wakil Afrika di Piala Dunia.

Perjuangan pemain dan pelatih, ditambah doa dan pekik suporter Mesir di Piala Afrika kali ini seharusnya menjadi pengingat. Sepak bola, bersama rakyat, pada 2011 lalu pernah sama-sama melengserkan seorang tiran yang telah membelenggu negara selama lebih dari tiga dekade. Sepak bola yang diwakili ultras Al-Ahly telah menjadi simpul penting aksi massa revolusi tersebut.

Maka salah besar Orwell ketika mengatakan sepak bola tidak memiliki peran penting dalam kehidupan berbangsa.

Author: Fajar Martha
Esais dan narablog Arsenal FC di indocannon.wordpress.com