Kolom

Hidup yang Kekal, Pram!

Seingat saya, Pramoedya Ananta Toer tidak pernah sedikit pun menyinggung perihal sepak bola di karier literasinya yang panjang dan berliku di negara ini. Masa edar Pram, sapaan akrab penulis kelahiran Blora ini, berada di masa-masa penuh lika-liku perjuangan kemerdekaan dan pergolakan internal di dalam negeri. Melewati masa kecil dikungkung oleh penjajah dan tumbuh dewasa dengan represi yang kuat dari pemerintahan Orde Baru usai meletusnya G30S di pertengahan tahun 1965 yang pekat.

Dengan latar belakang demikian rumit, agaknya menjadi maklum kenapa Pram belum atau lebih tepatnya, tidak sempat menghasilkan karya sastra berupa tulisan sepak bola. Pram tidak melakukan jejak langkah yang dilakukan oleh misalnya, Eduardo Galeano dengan Soccer in Sun and Shadow atau Nick Hornby dengan Fever Pitch-nya yang populer di kalangan suporter Arsenal.

Tapi menulis sepak bola, seperti yang kita jamak lakukan di zaman ini, sedikit banyak memiliki pengaruh Pram di dalamnya. Tidak langsung memang, tapi merawat jalan literasi bagi sepak bola adalah upaya mengejawantahkan apa yang dulu dikutipkan Pram dan kerap dipakai banyak unit kegiatan mahasiswa di tiap-tiap kampus lewat kalimat, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Kata-kata itu menyimpan makna yang kalau kamu luangkan waktu sebentar saja untuk memikirkan, akan terasa sedikit menantang. Menantangmu untuk menulis, sebagai upaya eksistensi, agar tak hilang di dalam masyarakat. Mengajakmu untuk menulis, agar kamu kekal di dalam sejarah, seperti upaya Pram mengabadikan sosok Minke yang legendaris itu.

Pertumbuhan genre football writing dalam tiga atau empat tahun belakangan adalah pesta literasi yang patut dirayakan dengan gegap gempita. Banyak situsweb sepak bola muncul, tumbuh dan bertahan demikian lama untuk memberi suplai informasi dan cerita-cerita seputar lapangan hijau dengan angle yang unik. Melestarikan sepak bola agar ia tak hanya sedap dipandang oleh mata, tapi juga manis kala dicecap lewat baris kata dalam kalimat.

Saya rasa, tidak sedikit anak muda masa kini yang berada di usia 20-an awal, mengidolai dan mengenal Pram lewat deretan buku-bukunya yang hampir satu pun tidak ada yang buruk. Kami memang tidak mengenal Pram di masa hidup beliau, tapi kekal di memori dalam mengingat Pram lewat buku dan jejak literasi yang ia tinggalkan untuk masa depan sastra Indonesia.

Pram mungkin tidak menuliskan sepak bola seperti Galeano, si bocah Uruguay yang gila bola dan menyalurkannya lewat buku yang menjadi junjungan beberapa penulis sepak bola dewasa ini, termasuk saya. Pram juga tidak memiliki keterikatan dengan, misalnya, tim lokal sepak bola di Blora, karena masa mudanya berada di zaman kolonial dan setelahnya, sebagai tahanan politik di Pulau Buru.

Tapi karya Pram, juga penggalan-penggalan pemikirannya yang tertanam di benak anak-anak muda Indonesia, menjadi semacam pengingat bahwa di setiap sendi kehidupan manusia, entah lewat olahraga atau hal-hal akademik, semua bisa menjadi abadi lewat tulisan.

Anda mungkin bukan pemain sepak bola yang baik. Anda juga mungkin tidak memahami taktik sepak bola dengan baik. Tapi apakah itu membuat Anda, orang yang gagal di lapangan hijau sebagai pemain, tidak memiliki hak untuk menikmati sepak bola dengan jalan literasi?

Menulis adalah hal mudah. Yang membuatnya sulit adalah fakta bahwa menulis dengan bagus itu rumit dan kompleks. Semua orang bisa menulis, tapi tidak semua bisa menulis dengan bagus. Itulah kenapa literasi bersumber pada dua hal: Menulis dan membaca. Penulis yang baik berasal dari pembaca yang tekun.

Dan di sepak bola, tantangan untuk menulis dengan bagus adalah hal yang seharusnya menggugah minat dan gairahmu. Kita hidup di zaman milenial dan serba modern. Zaman yang memberikan kita semua data yang kita perlukan sebagai bahan tulisan dan tersedia gratis. Yang kita perlukan hanya membaca, memahami datanya dan menulis. Tiga langkah sederhana.

Sebagai contoh, media-media komunitas tumbuh subur di Indonesia karena mereka mencintai klub-klub mereka dengan cara menulis. Di jalur literasi, mereka menggenapkan cinta untuk klub kesayangan masing-masing. Cinta tumbuh subur di tempat ia dirawat dengan cinta kasih dan ketulusan.

Kamu datang ke stadion menonton timmu berlaga. Dua jam kemudian, kamu pulang ke rumah, membuka laptopmu dan mulai menulis. Besoknya, kamu mempunyai tulisan untuk pengalaman yang kamu ambil dan bawa pulang saat menonton di stadion. Dengan cara ini, kamu mencintai klub sepak bolamu dengan dua cara yang intens: menonton dan menulis. Paripurna betul statusmu sebagai suporter yang baik, bukan?

Energi suporter adalah sumber yang besar. Begitu besarnya hingga terkadang itu tak tersalurkan dan berujung pada anarki. Menulis memberikan jalan keluar terbaik bagi masalah itu. Ketika amarahmu tertahan karena tim idolamu kalah dengan cara yang konyol dan buruk, menulislah. Ketika gairahmu membuncah karena tim idolamu memetik kemenangan dengan cara yang megah, menulislah. Dengan menulis sepak bola, seperti nasihat Pram di awal tulisan tadi, kamu akan merawat eksistensi dari dua hal: Dirimu sendiri dan sepak bola.

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun?”

“Karena kau menulis.”

“Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.” 

Selamat ulang tahun, Pram!

Isidorus Rio – Editor Football Tribe Indonesia