Kolom Eropa

Catatan Tentang Gheorghe Hagi

Pada pagelaran Piala Dunia 1994 silam, satu negara di wilayah Eropa Timur berhasil mengejutkan khalayak lewat performa gemilang yang mereka suguhkan. Tanpa disangka-sangka, tim nasional dengan jersey utama berwarna kuning ini sukses mencuri atensi dengan melaju sampai babak perempatfinal. Tim itu adalah timnas Rumania.

Kala itu, skuat timnas berjuluk Tricolorii ini punya sosok-sosok penuh talenta macam Ioan Lupescu, Dorinel Munteanu, Dan Petrescu, Gheorghe Popescu, Bogdan Stelea dan tentu saja, Gheorghe Hagi. Keberadaan pemain-pemain tersebut plus kualitas yang mereka miliki, membuat Anda tak perlu sangsi jika di era itu Rumania disebut-sebut memiliki sebuah Golden Team.

Saya pun yakin jika Anghel Iordanescu, pelatih timnas Rumania di periode 1993-1998, pasti akan sangat mensyukuri materi skuat yang dimilikinya kala itu. Keistimewaan macam itu bahkan tak lagi ditemukan Iordanescu dalam dua kesempatan berikutnya melatih Rumania, yakni pada 2002-2004 dan 2014-2016.

Dari beberapa penggawa generasi emas timnas Rumania yang saya sebutkan di atas, sudah pasti nama Hagi menjadi yang paling kesohor. Figur kelahiran Sacele ini merupakan representasi seorang gelandang jenius di masanya. Hagi amat fasih bermain sebagai seorang playmaker bagi tim yang diperkuatnya.

Visi bermain yang luar biasa ditopang teknik, kecepatan dan kreativitas ciamik benar-benar menjadikan Hagi sosok yang mengerikan karena tak cuma lihai mengirim asis, dirinya juga gemar mencetak gol yang banyak diantaranya berupa gol-gol indah. Maka pantas jika sosok berkaki kidal ini masuk sebagai salah satu pemain nomor 10 terbaik sepanjang masa. Masyarakat Rumania pun memberinya sebutan Regele yang kurang lebih bermakna Sang Raja.

Pasca angkat nama bersama Steaua Bukarest di Liga Rumania pada penghujung 80-an, banyak sekali klub-klub top Eropa yang meminati Hagi seperti AC Milan dan Bayern Munchen. Sayangnya, Rumania yang saat itu berada dalam genggaman pemerintah komunis pimpinan Nicolae Ceausescu menolak semua tawaran yang datang kepadanya.

Petualangan Eropa perdana Hagi baru hadir usai Piala Dunia 1990 setelah dirinya diboyong oleh raksasa Spanyol, Real Madrid, dengan harga 4,3 juta dolar. Sebuah nilai yang cukup fantastis saat itu.

Akan tetapi petualangan Hagi di negeri matador tidak berlangsung mulus, dirinya gagal mempersembahkan trofi mayor bagi klub ibukota tersebut sehingga kemudian dilego ke tim papan bawah Serie A, Brescia. Namun sial, musim perdananya bersama I Rondinelle juga berakhir menyedihkan karena harus rela terdegradasi ke Serie B di akhir musim 1992/1993. Namun lewat serangkaian penampilan brilian, Hagi sukses membawa Brescia promosi kembali ke Serie A musim berikutnya.

Aksi tersebut plus penampilan memukau selama Piala Dunia 1994 menarik perhatian rival bebuyutan Real Madrid di Spanyol, Barcelona. Los Cules pun membawa bintang utama sepak bola Rumania tersebut untuk merumput di stadion Camp Nou.

Namun Spanyol tampaknya memang bukan “tanah yang dijanjikan” untuk Hagi. Penampilannya berkostum Barcelona selama dua musim pun terbilang kurang sukses. Hal ini juga yang kemudian memengaruhi Hagi untuk menerima pinangan salah satu tim raksasa Turki, Galatasaray.

Walau selalu menjadi andalan timnas Rumania, performa brilian Hagi di level klub baru benar-benar meledak saat membela kesebelasan berjuluk CimBom ini. Bersama pemain-pemain sekelas Emre Belozoglu, Okan Buruk, Umit Davala, Mario Jardel, Bulent Korkmaz, Hakan Sukur dan Claudio Taffarel, Hagi sukses menghadiahi Galatasaray dengan sepuluh titel juara.

Gelar tersebut berupa empat titel juara Liga Turki, masing-masing sepasang Piala Turki dan Piala Super Turki serta gelar kontinental dalam wujud satu gelar untuk masing-masing Piala UEFA dan Piala Super Eropa.

Usai mengantar Galatasaray meraih titel-titel Eropa yang telah disebutkan di atas, Hagi memutuskan untuk gantung sepatu. 24 April 2001, dalam sebuah laga yang bertajuk Gala Hagi, sosok yang dijuluki sebagai Maradona dari Carpathia ini mengakhiri karier profesionalnya sebagai pemain.

Meski begitu, Hagi tak benar-benar bisa melepaskan hidupnya dari sepak bola. Hanya berselang beberapa bulan setelah gantung sepatu, Hagi kembali ke lapangan walau dengan status berbeda, yaitu pelatih. Timnas Rumania memanggil sang legenda untuk menjadi pembesut usai ditinggal pergi Ladislau Boloni.

Tapi nahas buat Hagi, kariernya berjalan amat singkat akibat gagal mengantarkan Rumania ke Piala Dunia 2002 sehingga federasi sepak bola Rumania, FRF, memilih untuk memecatnya.

Namun hasrat Hagi untuk menjadi pelatih nampaknya tak surut walau pengalaman pertamanya berjalan dengan amat pahit. Gayung bersambut tatkala klub asal Turki, Bursaspor, menawarinya jabatan pelatih jelang musim 2003/2004 bergulir.

Akan tetapi 12 laga awal di Liga Super Turki yang dilalui Hagi bersama tim berjuluk Yesil Timsahlar itu berjalan amat sangat buruk. Bursaspor hanya memenangi dua pertandingan sementara sepuluh partai yang lain berakhir dengan empat kali imbang dan enam kekalahan. Khawatir semuanya akan berjalan semakin buruk, perpisahan menjadi opsi yang ditempuh Hagi dan Bursaspor.

Musim berikutnya, tawaran melatih bagi Hagi datang dari bekas klub yang membesarkan namanya, Galatasaray. Berada di “rumah” seolah membuat Hagi merasa lebih nyaman.

Meski gagal mengantar CimBom menjadi juara liga dan membuat kontraknya sebagai pelatih tidak diperpanjang, namun nama Hagi tetap dielu-elukan pendukung Galatasaray usai membawa tim yang berada di sisi Eropa kota Istanbul ini menjadi kampiun Piala Turki dengan menekuk sang rival berat, Fenerbahce, via skor mencolok 5-1.

Setelah petualangan singkat itu Hagi pulang ke Rumania untuk menukangi Politecnica Timisoara lalu Steaua Bucharest. Akan tetapi, karier kepelatihan Hagi selalu berakhir prematur di dua tim itu.

Usai menganggur cukup lama, Galatasaray kembali menghampiri legenda hidup mereka untuk menawarkan kursi kepelatihan pada tahun 2010. Dirinya mendapatkan kontrak selama satu setengah musim untuk menggantikan Frank Rijkaard yang dipecat. Namun rangkaian hasil-hasil minor selama awal paruh kedua musim 2010/2011 mendorong manajemen Galatasaray mengambil sikap dengan memecatnya.

Banyaknya kegagalan yang didapat Hagi dalam meniti karier kepelatihan tak sedikitpun membuatnya berpaling dari sepak bola. Bahkan di tahun 2009, Hagi membangun sebuah akademi sepak bola yang diberi nama Akademi Sepak Bola Gheorghe Hagi di negeri kelahirannya, Rumania.

Akademi ini sendiri merupakan akademi sepak bola terbesar di wilayah Laut Hitam lantaran memiliki sembilan lapangan latihan yang digunakan oleh sekitar 300 pemain belia berlatih. Akademi ini  kabarnya memakan biaya pembangunan sebesar 11 juta euro.

Akademi yang kemudian menjadi youth team bagi klub yang didirikan oleh Hagi pada musim panas tahun yang sama bernama F.C Viitorul Constanta. Maka wajar bila klub ini kemudian mendapat julukan Pustii Iui Hagi atau Anak-anak Hagi mengingat skuat mereka berisi jebolan akademi milik Hagi.

Viitorul berlaga di Liga III, kompetisi kasta ketiga Rumania pasca mengambil jatah CSO Ovidiu. Beberapa penggawa kesebelasan itu juga dicomot oleh tim milik Hagi. Debut mereka di Liga III berjalan dengan gemilang usai keluar sebagai yang terbaik di akhir musim 2009/2010 serta beroleh satu tiket promosi ke Liga II.

Hingga akhirnya lewat serangkaian proses yang memakan waktu cukup panjang, Viitorul berhasil menembus Liga I, kompetisi teratas dalam piramida sepak bola Rumania, tepatnya per musim 2012/2013 setelah finis sebagai runner up Liga II di musim 2011/2012.

Sisi positifnya lagi, akademi Hagi juga terus rajin menelurkan bakat-bakat baru yang kemudian menjadi penggawa andalan Viitorul. Diantaranya adalah Romario Benzar, Florinel Coman, Gabriel Iancu dan pastinya anak Sang Raja, Ianis Hagi, yang kini berseragam tim junior Fiorentina.

Dan mulai musim 2014/2015 yang lalu, Hagi juga turun gunung dengan tak cuma berperan sebagai pemilik klub tapi juga pelatih setelah kerjasama dengan Bogdan Vintila tak diperpanjang. Menariknya, selama ditangani Hagi, Viitorul bahkan tampil semakin baik, salah satunya dengan finis di peringkat kelima musim 2015/2016 sekaligus memberi jatah tiket ke babak kualifikasi ketiga Liga Europa.

Sementara di musim ini, hingga pekan ke-22, mereka berhasil menduduki posisi pertama dan unggul lima angka atas Universitatea Craiova dan Steaua Bucharest yang mengekor di posisi dua dan tiga. Hal ini jelas akan melanggengkan jalan Benzar dan kawan-kawan untuk memasuki fase Championship Round guna bertarung dengan klub-klub yang finis di posisi enam besar dan memperebutkan titel juara Liga Rumania.

Walau dikenal sebagai pribadi yang arogan dan temperamental, baik saat masih bermain maupun seusai pensiun, Hagi telah menunjukkan kepada semua pihak jika dirinya juga bersedia mencurahkan segenap jiwa dan raganya demi sepak bola Rumania yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebuah visi yang begitu hebat dan brilian, selayaknya aksi-aksinya di atas lapangan kala bermain dahulu.

Di usianya yang mencapai 51 tahun tepat di hari ini, 5 Februari 2017, izinkan saya mengucapkan sesuatu bagi sang legenda hidup sepak bola Rumania.

Selamat ulang tahun dan semoga sukses, Regele!

Author: Budi Windekind (@Windekind_Budi)
Interista gaek yang tak hanya menggemari sepak bola tapi juga american football, balap, basket hingga gulat profesional