Kolom Eropa

Frank Lampard: Seorang Pria, Pesepak Bola dan Legenda

Apa syarat untuk menjadi seorang legenda sepak bola?

Ada beberapa pemain bisa menjadi legenda bahkan sebelum ia pensiun dan menyingkir sepenuhnya dari riuhnya lapangan hijau. Dongeng Francesco Totti di AS Roma, loyalitas Gianluigi Buffon untuk Juventus, hingga keajaiban La Pulga, Lionel Messi di Barcelona adalah contohnya. Ada pula diantara mereka yang menjadi ‘legenda’ karena surealisme kariernya yang luar biasa aneh, seperti, the one and only, Nicklas Bendtner.

Tapi seorang pemain bisa menjadi legenda hanya dengan satu cara mudah: Memecahkan mitos.

Mitos ada dan mengurung imajinasi manusia untuk percaya bahwa kemampuan manusia ada batasnya. Orang selamanya mengingat dongeng Icarus, bukan hanya karena ia jatuh dan tenggelam hingga mati ke dasar laut, tapi juga karena ia mampu terbang. Icarus mendobrak dogma bahwa hanya para dewa-dewi semata yang bisa menyentuh cakrawala langit. Mampu terbangnya Icarus adalah upaya memecahkan mitos dan sekaligus menjadikannya seorang legenda di mitologi Yunani.

Hal ini berlaku untuk Frank Lampard. Jebolan akademi sepak bola West Ham United yang menjadi besar dan diresmikan status legendanya sebagai salah satu gelandang terbaik yang dimiliki Chelsea dan Inggris. Lampard tidak dianugerahi visi cemerlang seperti Paul Scholes. Ia juga tak flamboyan seperti David Beckham yang menjadi ikon mode dunia di masanya bahkan hingga saat ini. Jangan pula bandingkan Lampard dengan si bengal, Paul Gascoigne, yang di masa jayanya, disebut-sebut sebagai gelandang tengah terbaik Inggris dalam lima puluh tahun terakhir.

Lampard adalah sebuah anomali. Ketika Anda menyadari keponakan Harry Redknapp ini pensiun dengan catatan gol di angka 303, satu hal yang wajib Anda sadari, pria ini adalah anomali paling aneh dalam sepak bola modern. Ia membuat seorang Nicklas Bendtner atau Maroauane Chamakh benar-benar seperti penyerang amatir yang menyedihkan. Lampard, selama 13 tahun kariernya di Chelsea, tidak pernah mengakhiri musim dengan performa buruk, bahkan sempat mencatatkan rekor 10 musim beruntun mampu mengukir gol diatas dua digit. Karena begitu seringnya mencetak gol selama membela  The Blues, dengan agak surealis kita berhak mendelik heran melihat fakta bahwa Super Frank  adalah top skor sepanjang Chelsea.

Bandingkan fakta ini dengan melihat Manchester United yang memiliki Wayne Rooney sebagai top skor sepanjang masa. Atau Arsenal dengan Thierry Henry dan Liverpool dengan Ian Rush. Ketiganya adalah penyerang tajam di masanya. Dan ketika Anda menyadari status Lampard di Chelsea setara dengan ketiga pemain tersebut, Anda harus sepakat bahwa predikat sebagai legenda sudah lebih dari cukup untuk disematkan kepada pemain yang akrab dengan nomor punggung 8 ini.

Seperti Icarus di mitologi klasik Yunani, Lampard menjadi legenda karena ia satu-satunya gelandang Inggris yang begitu produktif mencetak gol. Ia mendobrak mitos klasik sepak bola kuno yang percaya bahwa tugas mencetak gol adalah kewajiban penyerang semata.

Lampard memiliki tendangan yang keras. Kedua kakinya hidup dan sama kuat. Semasa sekolah, ia adalah murid dengan kecerdasan intelektual yang tinggi. Satu hal yang kemudian sangat membantunya dalam berkarier di lapangan hijau.

Kamu tidak bisa membayangkan Lampard berlarian dengan sporadis dan eksplosif seperti Steven Gerrard di masa mudanya. Yang akan kamu lihat, Lampard yang tenang dan lugas. Ia benar-benar memahami secara mendalam posisinya sebagai gelandang tengah. Ia menempatkan diri sebagai gelandang sentral yang menjadi pusat semesta bagi permainan Chelsea di masa keemasannya.

Profesionalitas seorang Frank Lampard

“I certainly don’t think I’m the most talented player there has ever been, but one thing I do know, I have got a real desire (in football) and work ethic”, ujar Frank Lampard ketika ditanya jurnalis bagaimana ia mendeskripsikan dirinya sebagai pesepak bola.

Work ethic adalah keistimewaan Lampard. Ia berdedikasi, profesional, dan sangat loyal. Bukan hanya kepada Chelsea, namun juga di setiap tim yang ia bela, termasuk New York FC sekalipun. Dan di Inggris, profesionalitas seorang Lampard menonjolkan betul apa yang dipercaya masyarakat Inggris sebagai gentleman’s code of conduct.

Istilah atau moto gentleman’s code of conduct ini pertama dikenal di lingkup Universitas Oxford pada tahun 1379. Ia muncul sebagai efek dari upaya pemerintah dan kaum akademisi Inggris masa itu untuk menonjolkan keberadaban dan kesopanan sebagai upaya untuk menghasilkan generasi masyarakat Inggris yang santun dan beradab.

Masa-masa setelah Revolusi Industri menghasilkan lonjakan ekonomi dahsyat di Negeri Elizabeth, tapi tidak hanya itu, revolusi juga membawa efek domino yang buruk. Wabah penyakit muncul di tengah-tengah masyarakat yang merongrong pertumbuhan ekonomi dan mengancam stabilitas nasional. Gentleman’s code of conduct muncul sebagai jargon untuk menyakinkan masyarakat bahwa bersama-sama, mereka akan sanggup melewati masa-masa penuh krisis.

Dan itu terbukti, karena sejarah mencatat Inggris sukses melewati masa Revolusi Industri, masa Enlightenment di Eropa, hingga Perang Dunia I dan II dengan jargon ini. Ketika Jerman menjatuhkan puluhan bom ke London pada Perang Dunia I, Inggris sempat dilanda kepanikan dan ketidakstabilan sosial. Ratusan rumah hancur, banyak penduduk kehilangan tidak hanya rumah, tapi juga harta benda dan sanak saudara.

Tapi berkat gentleman’s code of conduct atau yang bisa kita sebut sebagai perwujudan hidup beradab dan tenggang rasa khas Inggris, cukup membantu masyarakatnya tetap tenang dan kembali stabil selama masa perang berkecamuk. Saat itu, banyak poster yang terpampang di kota-kota Inggris menuliskan semangat gentleman’s code of conduct dengan kata-kata “Keep Calm and Carry On”. Kata-kata yang di masa mendatang kemudian, kerap kita temui banyak digunakan beberapa orang sebagai propaganda sosial yang biasa diawali dengan kata-kata “Keep Calm and bla..bla..bla..”

Inggris sangat menjunjung tinggi sikap santun dan profesional ini hampir di segala aspek sosial budaya mereka, kecuali untuk hooliganisme di sepak bola. Kita akan mudah memahami kenapa Arsene Wenger dikritik karena menolak menjabat tangan Jose Mourinho sebagai buah dari konflik personal keduanya di pinggir lapangan. Bersalaman sebelum dan sesudah pertandingan, mengirim kartu Natal bagi setiap manajer tim lain, hingga tradisi menjamu manajer lawan dengan sebotol anggur terbaik di kantor adalah kewajiban tak tertulis di Inggris. Perwujudan dari apa yang mereka pahami sebagai bagian dari gentleman’s dignity khas orang Britania.

Dan untuk membuatnya sederhana, Lampard memenuhi semua kualifikasi itu. Lampard memiliki etos kerja dan profesionalitas yang jauh lebih sempurna dari David Beckham atau gelandang-gelandang terbaik Inggris di masanya. Ia dicintai bukan hanya mendobrak mitos sebagai salah satu gelandang terbaik di dunia lewat kapabilitasnya mencetak gol, tapi juga karena ia seorang pesepak bola dengan sifat dan sikap yang beradab dan baik.

Ia mencerminkan apa yang benar-benar dijunjung tinggi publik Inggris sebagai perwujudan seorang pria sejati. Saya rasa, menambahkan kata “Super” di depan namanya adalah cara terbaik mengenang Frank Lampard sebagai pria, pesepak bola dan legenda dalam satu bingkai.

Ain’t nobody like Frank Lampard. Have a blessed life, Super Frank!

Isidorus Rio Turangga – Editor Football Tribe Indonesia